Empat Puluh

64 5 10
                                    

Spam comment, bisa?

Terima kasih atas dukungannya selama ini, baik vote dan comment. Anggap saja bonus akhir tahun, hihi🍓

***

Seseorang tidak akan pernah kecewa jika tidak memiliki harapan.

***

"Ayah di sini, Jevan."

Keduanya mengalihkan atensi ke sumber suara. Di ambang pintu, berdiri seorang pria dengan jas berwarna hitam yang membalut tubuh tegapnya. Senyum lembut ia berikan layaknya senyuman seorang ayah kepada anaknya. "Kenapa pada diam?"

"Apa maksudmu, Louren?" tanya Jevan menatap temannya bingung.

Gadis itu meringis seraya menggaruk tengkuknya. "Eumm, ayah gue kan sekarang ayah lo juga. Gitu deh, hehe."

"Bukannya tadi kamu bilang bah–"

"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Rama mengusak pelan surai hitam Jevan.

"Jev, itu anu eumm." Kini tangan Louren beralih menggaruk pelipisnya. Ia bingung harus berkata apa saat tatapan lekat dari sang ayah terus mengikuti semua pergerakannya. "Lo akan jadi keluarga gue, ayah Rama akan jadi wali lo mulai saat ini."

Rama mengangguk setuju. "Kamu bisa tinggal bersama kami mulai saat ini, bagaimana? Saya bisa memberimu waktu untuk memutuskannya."

Lelaki dengan luka memar dan sobek di beberapa bagian tubuhnya itu menunduk dalam. Menautkan jari tangannya satu sama lain, menyalurkan rasa tak nyaman. Jevan sangat bahagia dan bersyukur karena masih ada orang yang menerima kehadirannya di dunia ini, namun ia yakin bahwa itu tidak akan menjamin apapun pada hidupnya.

"Terima kasih telah membantu saya selama ini." Jevan mendongak seiring tarikan kedua sudut bibirnya membentuk senyum tipis. "Untuk tawaran Om Rama, saya nggak perlu waktu lama untuk memutuskan tawaran untuk tinggal bersama keluarga Om. Maaf, Jevan harus tetap tinggal bersama ayah."

"Kenapa?" tanya Louren kecewa.

Tatapan Jevan berubah sendu. Ia meneguk pelan salivanya. "Saya pernah mendengar, orang tidak akan pernah kecewa jika tidak memiliki harapan."

"Saya memercayai itu." Ditatapnya wajah kedua orang di hadapannya. "Saya lelah dengan banyak harapan di hidup saya. Sudah begitu banyak kekecewaan yang saya dapatkan setelah berharap pada sesuatu yang belum pasti terjadi."

Jevan menjeda kalimatnya.

"Untuk menghindari kekecewaan kesekian kalinya, saya memilih untuk menolak tawaran om Rama. Saya takut dibuang, lagi." Lelaki itu tertawa kecil. "Entahlah, sekarang saya terlalu lemah menghadapi sesuatu yang belum pasti terjadi."

"Tolong hargai keputusan saya, Louren," imbuhnya saat merasa Louren mengajukan penolakan atas keputusannya.

Rama menghela napas pelan sebelum mendudukkan dirinya di kursi samping brankar. "Saya hargai keputusan kamu, Jevan. Ingatlah, kami akan selalu bersamamu. Jika butuh sesuatu, hubungi saya. Jangan sungkan untuk meminta bantuan, oke?"

"Jevan, boleh saya tanya?" Sang pemilik nama mengangguk pelan. "Apa tadi kamu berharap ayah kandungmu yang datang?"

Jevan terdiam, sedetik kemudian ia tersenyum tipis nyaris tak terlihat. "Ya, sedikit kecewa bahwa ternyata bukan ayah kandung saya yang datang. Saya terlalu bodoh menyimpulkan bahwa ayah kandung saya tahu tentang keberadaan putranya."

"Kamu... kecewa, lagi?" tanya Rama pelan, ragu dengan pertanyaannya yang terkesan tidak berguna.

"Ya," jawab Jevan lemah. "Tapi ini bukan masalah yang besar. Tolong jangan salahkan Louren atau diri Om sendiri. Ini salah saya karena terlalu berharap dengan hal yang mustahil terjadi."

JevandraHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin