Tiga Puluh Enam

49 5 0
                                    

Ramaikan-ramaikan. Vote dan comment setiap paragraf, yuk.🍓

***

Tidak ada seorangpun yang mau merawat anak hasil perselingkuhan pasangannya.
~Yudha.

***

Netra Jevan tak pernah lepas dari objek di depannya. Terhitung 20 menit berlalu sejak dirinya berdiri di depan gerbang yang menjulang tinggi. Sekuat mungkin ia mengatur napasnya agar bisa lebih tenang sebelum berhadapan langsung dengan si pemilik rumah.

Tangannya tergerak pelan menekan bel di tembok samping gerbang. Tak berselang lama, seorang pria paruh baya membuka sedikit pintu gerbangnya. "Ada apa ya? Saya lihat dari CCTV, kamu berdiri di depan sejak tadi."

"Ah, maaf, pak," ujar Jevan tak enak hati karena membuat satpam rumah khawatir apabila ada orang jahat. "Saya hanya mau bertanya, bu Winda ada di dalam?"

Pria paruh baya itu tampak gelisah. Ia menggaruk tengkuknya tak nyaman. "Nyonya sedang sibuk menemani putranya di dalam, ada keperluan apa?"

"Saya butuh bicara dengan bu Winda. Tolong sampaikan bahwa seseorang ingin berbicara dengan beliau," ujarnya.

Tanpa berkata lagi, pria paruh baya dengan seragam hitamnya masuk ke dalam pos satpam guna menelpon art di rumah. Selang beberapa menit, ia kembali mendekat ke arah Jevan. "Nyonya sudah menunggu, kamu bisa masuk."

"Terima kasih, Pak." Jevan membungkukkan sedikit tubuhnya sebelum berjalan masuk. Dari gerbang menuju rumah saja berjarak sekitar 100 meter, itu yang ia ukur berdasarkan hitungan langkahnya. "Penjaga rumah bunda banyak sekali, sepertinya berjaga sesuai shift."

Kaki Jevan terhenti tepat di depan pintu. Ia merapikan seragam sekolah yang membalut tubuhnya. "Pasti bunda bangga  karena saya memakai seragam SMA." Jari telunjuknya menekan bel di samping pintu utama.

Tak lama kemudian seorang wanita dengan penampilan anggun membuka pintu utama. Tatapan terkejut terlihat jelas di wajah ayu sang wanita. Namun, ekspresi tersebut berubah dalam hitungan detik menjadi tatapan angkuh. "Ada keperluan apa kamu datang ke rumah saya?"

"Bu–bunda," panggil Jevan bergetar. Ia rindu mengucapkan kata tersebut. Hatinya membuncah saat berhasil memanggil wanita yang dirindukan dengan panggilan bunda. "Bu–bunda, ini Jevan."

Winda, wanita itu melipat kedua tangannya di depan dada. Hembusan napas kasar kentara sekali bahwa ia sangat tidak menyukai kehadiran remaja laki-laki di depannya. "Waktu kamu hanya sebentar, katakan saja apa yang membawamu hingga datang kemari? Jangan seenaknya menyebut saya dengan panggilan itu."

"Bun–"

"Saya tahu bahwa kamu Jevan, anak yang saya lahirkan ke dunia ini. Namun, kamu harus tahu bahwa tidak sedikitpun terbesit dalam benak saya menerima kehadiranmu," jelasnya memotong kalimat Jevan. "Tolong, jangan menyebut saya dengan sebutan itu."

Deg!

Tubuh Jevan membeku. Napasnya seakan terhenti. Lidahnya terasa kelu mengucapkan sepatah kata. Aliran darahnya seakan terhenti saat itu juga setelah mendengar pernyataan menyakitkan dari wanita yang sudah mempertaruhkan nyawa demi ia lahir di dunia. Kepala Jevan menggeleng kaku seiring berubahnya mimik wajah lelaki itu.

Ditariknya kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyum getir. "Bagaimana Bunda mengatakan hal itu sedangkan Jevan bisa lahir dan hidup hingga saat ini."

"Saya terpaksa melahirkanmu karena lelaki brengsek itu, sialan. Jika bukan permintaannya dan uang yang selalu dia berikan, demi Tuhan saya tidak sudi melahirkan hingga merawat anak sialan sepertimu," ujar Winda dengan suara tertahan. Sebisa mungkin ia tidak berteriak di depan wajah remaja itu, bisa habis dirinya jika seseorang mendengar perkataannya.

JevandraWhere stories live. Discover now