Tiga Puluh Dua

62 4 2
                                    

Halo semua. Bantu ramaikan cerita Jevandra dengan Comment di setiap paragraf, yuk.
Terima kasih🍓

***

Terkadang candaan yang terlontar, secara tidak langsung menyakiti hati seseorang.

***

Satu hal yang perlu kita tahu, tidak selamanya apa yang kita harapkan di dunia ini terkabul. Bukankah manusia hanya dapat merencanakan, sedangkan keputusan besar berada di tangan Tuhan? Bukankah maha adil Tuhan memberikan sesuatu yang terbaik kepada makhluk-Nya?

Ia memberikan sesuatu yang terbaik kepada hamba-Nya. Tidak memberikan apa yang hamba-Nya minta, bukan berarti Tuhan tidak mendengar permintaan hamba-Nya. Masih ada kejutan atau bahkan pemberian lainnya yang lebih baik.

Itulah yang saat ini ada di pikiran Jevan. Ia yakin bahwa Tuhan akan memberikan kejutan yang indah di hidupnya. Tidak ada yang perlu diragukan dari semua tanda-tanda kebesaran Tuhan. Semua akan mendapatkan hikmahnya apabila percaya terhadap kebesaran dan kemurahan hati Tuhan.

"Jevan, ayo." Lelaki itu mengerjap pelan sebelum mengikuti langkah Louren memasuki lobi sekolah.

Ya, Jevan kembali bersekolah setelah satu minggu sadar dari komanya. Ia tak ingin terlalu lama membebani keluarga Louren. Memaksa pulang dan menjalani rawat inap setelah tiga hari sadar adalah pilihan terbaik. Louren dan keluarganya sudah terlalu jauh membantunya hingga ikut ke dalam semua permasalahan yang Jevan miliki.

Sembari berjalan beriringan di koridor, Louren memerhatikan temannya dari samping. Ekspresi khawatir tergambar jelas di wajah Louren. "Lo yakin masuk sekolah? Kepala sama yang lain aman? Wajah sama beberapa bagian tubuh lo juga masih lecet, Jev."

"Saya baik-baik saja, Louren." Jevan tersenyum tipis seraya mengusap pelan dadanya yang terasa nyeri. "Kita harus segera sampai di kelas."

"Jalan aja rada pincang, sok banget ngajak jalan cepat," cibir Louren menggamit lengan kanan Jevan. "Hati-hati aja kenapa sih? Lo baru sembuh."

Perlakuan baik gadis di sampingnya sedikit membuat Jevan merasa tidak nyaman. Terlebih saat ini mereka tengah menjadi pusat perhatian murid di sepanjang koridor gedung F, dimana gedung untuk jurusan MIPA. "Louren, jangan seperti ini. Saya bisa jalan sendiri tanpa kamu bantu," tolaknya.

Berdecih pelan seraya merotasikan kedua bola matanya jengah, tapi tak urung sedikit berjaga jarak dengan Jevan. "Sudah, kan? Buruan jalan sebelum gue seret." Meskipun sedikit kesal, tidak membuat Louren meninggalkan Jevan.

Sesampainya di dalam kelas, keduanya duduk di bangku masing-masing. Menghiraukan segala macam tatapan yang tertuju kepada mereka, khususnya Jevan. Sedikit bersikap acuh ternyata tidaklah buruk, daripada berteriak seperti biasanya.

"Jev, ingat! Harus lebih berani untuk berkata tidak!" pesan Louren penuh penekanan sebelum sibuk dengan kegiatannya membaca novel sembari mendengarkan musik melalui airpods dan menyantap berbagai camilan yang ia bawa.

"Akhirnya lo masuk." Sontak Jevan menoleh saat suara itu berasal tepat di samping bangkunya yang ternyata adalah Ayden dengan posisi membungkuk. "Gue harap lo baik-baik aja. Maaf karena gue selaku ketua dan perwakilan kelas belum bisa menjenguk karena padatnya jadwal."

Ayden mendekatkan dirinya ke arah Jevan. "Pun nggak ada yang sudi menjenguk manusia penuh dosa seperti lo, Jevandra," bisiknya menegakkan badan lantas menepuk pelan bahu temannya. "Gue harap keadaan lo semakin membaik, kalau butuh apa-apa jangan sungkan untuk meminta bantuan."

JevandraWhere stories live. Discover now