Delapan Belas

92 5 2
                                    

Aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan seseorang yang telah berhasil menggoreskan luka di hati, karena dalam setiap manis dan pahitnya kehidupan selalu ada campur tangan Tuhan.

***

"Bodoh! Gitu aja ngga becus. Anak haram emang ngga pernah berguna, cuih."

"Kalau bukan beasiswa, ogah kali sekolah ini nerima sampah."

"Beban sekolah. Beasiswa yang lu dapat semua itu juga dari duit para wali murid yang jadi donatur tetap di sini."

"Kamu nggak berhak berkata seperti itu, Litha." Kepala Jevan yang semula menunduk, kini terangkat. Menatap dalam manik mata orang di hadapannya. Raut wajahnya berubah menjadi dingin, seperti bukan Jevan biasanya. Siapapun bisa lelah jika mendapatkan perlakuan seperti itu, termasuk Jevan.

Belum sempat melanjutkan perkataannya, tubuh Jevan yang tengah bersimpuh terjerembab bersamaan dengan sebuah bogeman mentah mengenai sudut bibirnya. Tangannya terkepal kuat saat mengetahui orang yang telah memukulnya.

"Lo nggak berhak memberikan tatapan seperti itu, Jevandra. Tatapan lo sungguh menjijikkan," ujar Daniel. "Masalah apa lagi?"

"Minta tolong dia bantuin bawa buku dari mobil gue ke kelas. Kerjaan dia nggak becus sampai jatuhin buku gue, harga buku gue lebih mahal daripada harga diri anak haram itu," ujar Litha menatap sinis ke arah lelaki yang sibuk menyeka darah di sudut bibirnya.

Ettan meraih salah satu buku lantas melemparnya tepat mengenai kepala Jevan. "Nggak guna lu hidup, beban doang. Sampah sekolah ngga pantas dipertahankan."

"Cowok kok lemah. Situ cowok atau banci?" Cellin yang sedari tadi hanya diam mengikuti Ettan kini bersuara dengan tatapan sinisnya.

"Diam, lo nggak diajak," celetuk Litha sewot membuat Cellin hendak maju namun urung karena Ettan mengisyaratkan dirinya untuk diam.

Ozi yang sedari tadi menyimak, kini maju selangkah. Saat Jevan hendak memungut kembali buku yang berserakan di lantai, ia menendang lengannya hingga membuat lelaki pendiam itu kembali tersungkur. Kekehan sinis terlontar dari bibir Ozi lantas berkata, "lemah banget jadi manusia."

"Sabar ya, Jev. Lo pasti bisa lewatin ini semua," celetuk Argi diiringi senyum manis andalannya.

Ettan membuang muka diiringi senyum sinis. "Gimana? Nggak ada sosok ibu peri yang melindungi lo, kan? Sekadar info, Louren belum datang."

"Lo nggak dengar kita bica–"

"Cabut, nggak perlu diperpanjang. Jangan seperti anak kecil, bisa? Sebentar lagi bel masuk." Gaven memotong perkataan Litha sebelum masalah semakin runyam. "SEMUANYA, BUBAR!"

Menuruti perkataan Gaven tanpa ada yang berani melawannya. Mereka semua kembali melanjutkan kegiatan masing-masing, meninggalkan Jevan dan Gaven yang masih berada di koridor sepi yang menghubungkan antara gedung sekolah dengan laboratorium dan parkir kendaraan murid di belakang sekolah.

Merogoh saku jas lantas meraih tangan Jevan, meletakkan empat lembar uang kertas berwarna merah di atas telapak tangan temannya itu. "Berobat dengan ini kalau misal sakitnya masih terasa. Maaf atas perlakuan teman-teman gue."

"Gaven, ini...." Belum sempat melanjutkan perkataannya, Gaven beranjak meninggalkan Jevan sendiri yang menatap getir uang yang berada di atas telapak tangannya. "Nggak semuanya bisa kamu ganti dengan uang, Gaven," lirihnya.

JevandraWhere stories live. Discover now