Empat Belas

113 7 3
                                    

Setiap rasa sakit, selalu ada penawar untuk menyembuhkan.

***

Teriknya matahari yang menyengat seakan menusuk kulit tidak membuat Jevan berhenti dari kegiatannya. Tangannya sibuk memungut sampah menggunakan alat yang disediakan. Tidak ada sepatah kata yang terlontar darinya. Bahkan untuk mengumpat di dalam hati bukanlah kebiasaannya.

"Sampah mungut sampah nih yeee!" seru seseorang disambut gelak tawa dari beberapa orang lainnya.

Tanpa mencari tahu siapa disi oran dimana posang yang mengejeknya, Jevan mengetahui bahwa itu suara Ettan. Kepalanya mendongak melihat lima orang sedang berada di rooftop sekolah. Keempatnya berdiri di samping Ettan yang duduk di pembatas rooftop dengan menjuntaikan kakinya.

"Semangat Jevan!" ujar Argi tak kalah keras.

"Lo ada bakat kerja mungut sampah, ya? Cocok soalnya." Ozi berujar dengan tatapan sinisnya.

"Go Jevan Go Jevan. Yuk bisa yuk!" Daniel mengangkat tangan kanannya yang terkepal sebagai bentuk isyarat agar Jevan semangat. "Bisa jadi babu sekolah!" lanjutnya diiringi ledakan tawa dari keempatnya.

Gaven menatap jengah. Mereka menariknya paksa hanya untuk menonton hal yang kurang bermanfaat ini? Sungguh, ia lebih baik dihadapkan dengan tumpukan buku bacaan daripada harus ikut keempat temannya itu. "Manfaat dari kegiatan kalian seperti ini apa?"

"Bila mengganggu orang lemah seperti Jevan, kita akan senang," jawab Arghi semangat.

"Yuk, balik! Jangan kelamaan di sini, ntar aura kita jadi negatif kayak si anak haram!" seru Daniel mengajak teman-temannya. Ia sempat melirik Jevan yang terdiam kaku sembari menatap sendu mereka, namun apa pedulinya?

Senyum getir terpatri di wajah Jevan setelah mereka pergi meninggalkan rooftop. Ia terlalu lelah harus merasakan sakit atas kalimat hinaan yang terlontar dari banyak orang dengan mengatasnamakan "bercanda". Semua perkataan dan perilaku memiliki batasan, bukan? Tapi, entah mengapa mereka semua seperti tidak memiliki batasan dalam bercanda dan tidak memikirkan dampak apa yang dialami korban saat mendapatkan kalimat hinaan tersebut.

Menghembuskan napasnya pelan sembari menetralkan rasa lelah dan sakit kepalanya akibat terpapar sinar matahari secara langsung. Ia mengedarkan pandangannya. Takut jika ada sampah di sekitar lapangan yang jarang terpakai itu. Dirasa selesai mengerjakan hukumannya, Jevan melangkahkan kakinya menuju pohon rindang yang berada di pinggir lapangan dan duduk seraya menyenderkan punggungnya. Matanya terpejam menikmati semilir angin yang menyapu lembut permukaaan kulitnya.

Semoga keadilan dan kebahagiaan berpihak pada hidup saya. batinnya diiringi senyum tipis yang menghiasi wajahnya.

Sentuhan halus di pelipis membuat Jevan terkejut. Louren, gadis itu sibuk mengusap peluh lelaki itu menggunakan tisu di tangannya. Kegiatan Louren terhenti saat maniknya bertubrukan dengan manik hitam Jevan. Dalam hati menjerit karena untuk kesekian kali dirinya jatuh cinta dengan mata lelaki itu.

"Jadi makin cinta sama lo," celetuk Louren tersenyum manis hingga membuat kedua sudut matanya tertarik.

Lihat! Baru saja mereka saling menatap satu sama lain layaknya drama korea, celetukan Louren merusak suasana. Berharap gadis itu menjadi pemeran utama dalam drama romantis sepertinya tidak akan pernah terjadi. Bahkan untuk dicasting menjadi pemeran di sinetron azab sangat mustahil.

Jevan segera menegakkan tubuhnya. Sedikit menjauh dari Louren sebelum ada yang melihat mereka. "K-kamu ngapain di sini?"

"Gugup lo?" heran Louren. "Sini deketan, gue mau usap keringat lo."

JevandraWhere stories live. Discover now