Tiga Puluh Satu

54 4 2
                                    

Mohon maaf banyak typo karena belum sempat revisi.

***
Tidak ada yang dapat dipercaya, bahkan bayanganmu sendiri akan meninggalkanmu di tengah kegelapan.

***

"Karena itu gue mau ngajak lo ke lantai atas. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan." Lelaki itu bangkit setelah meletakkan minumannya di meja lantas hengkang tanpa memerdulikan temannya itu.

"Bajingan," umpat Litha menyusul Daniel yang sudah menghilang di balik pintu restoran.

Keduanya berjalan beriringan memasuki sebuah lift khusus para petinggi dan tamu penting di ujung lorong. Daniel yang mengetahui tujuan mereka kemana, segera menekan tombol bertuliskan 47. Lantai teratas yang hanya bisa di kunjungi oleh marga Bayanaka dan orang kepercayaannya. 

"Serius lo ngajak gue ke lantai 47? Bukannya dilarang?" tanya Litha.

"Gue anak tunggal di keluarga Bayanaka," jawabnya dengan nada congkak.

Tak berselang lama, keduanya keluar dan kembali berjalan sebentar hingga dihadapkan dengan sebuah pintu megah. Lelaki itu menempelkan kartu akses di samping pintu. Litha bedecak kagum dengan kemewahan di sekelilingnya. Ia hanya mengetahui bahwa ayah Daniel berprofesi sebagai pengacara ternama dan memiliki hotel kecil yang dirahasiakan namanya.

"Sejak turun dari mobil, gue nggak sadar kalau hotel ini mewah," kagumnya.

"Mata lo tadi tertutup kacamata hitam sih," cibir Daniel mendudukkan dirinya di sofa.

Litha yang masih setia berdiri menatap ruangan luas dengan perabot mahal itu berdecih pelan. Menghampiri Daniel dan duduk di sebelahnya. Kaki kanannya ia letakkan di atas paha kiri dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Maniknya masih tertarik untuk menjelajahi isi ruangan megah itu. Sangat disayangkan apabila tidak cuci mata melihat barang mewah.

"Lo mau jual diri? Segala pakai dress mini ketemu gue."

Daniel tidak habis pikir dengan jalan pikiran temannya itu. Untuk ukuran anak SMA, gaya berpakaian Litha terlalu terbuka menurutnya. Terlebih mereka berasal dari sekolah bergengsi, apa kata orang nantinya? Mungkin tidak masalah jika berada di luar negeri. Namun, temannya itu lupa jika masih berada di negara Indonesia dimana anak SMA berpakaian terlalu terbuka masih dianggap hal tabu.

"Mau jual diri ke bokap lo," balas Litha tenang.

"Congor lo, Tha. Habis lo kalau sampai bapak lo dengar." Lelaki itu membelesak ke sandaran sofa. "By the way, gue mau bicara."

"Lo dari tadi ngapain? Ngereog?" kesal Litha.

Daniel harus banyak bersabar saat bersama dengan temannya satu ini. Selain Ozi yang emosian, Arghi dan segala kepolosannya, ia juga harus bersabar menghadapi Litha dengan akhlak minimnya. Tidak heran jika terkadang temannya–Gaven–tampak lelah menghadapi mereka semua. "Kurang sabar apa gue punya teman modelan seperti ini."

Tangannya meraih gagang telepon di atas nakas seraya menekan beberapa nomor lantas mendekatkan ke arah telinga. "Bawakan salah satu vodka koleksi terbaru dan orange juice." Tanpa mendengar balasan dari orang di seberang, Daniel memutus panggilannya sepihak.

"Lo nggak nawarin gue minum dulu gitu?"

"Jawabanya pasti orange juice. Hafal gue mah. Sungkem dulu sini, karena gue termasuk kategori teman yang pengertian," bangganya tersenyum congkak.

JevandraWhere stories live. Discover now