Dua Puluh lima

75 5 2
                                    

Lebih baik berdamai dengan masa lalu daripada harus memaksakan diri melupakan segalanya.

***

"Pulang bareng gue."

"Nggak perlu, terima kasih. Gue masih harus mampir ke suatu tempat," jawab Louren ketus.

Ya, semenjak kejadian dimana Louren melihat Ayden yang membela Gaven dan para antek-anteknya karena merampas tugas dan memfitnah Jevan, ia tak lagi ingin berurusan dengan ketua kelas tak adil itu. Kembali berinteraksi dengan Ayden setelah ketahuan hampir berhasil membolos.

"Lo mau jenguk Jevan, 'kan? Gue ikut." Tak habis akal, Ayden tetap kekeuh agar pulang bersama gadis berisik itu.

Membuang muka seraya terkekeh pelan. "Nggak perlu membuang waktu berharga lo sampai harus menjenguk Jevan, kalian nggak sedekat itu."

"Sebatas formalitas antara ketua kelas dan anggotanya, nggak lebih." Ayden menatap lurus jalanan di depannya. "Gue hanya menjalankan tugas sebagai ketua kelas yang baik."

Louren berdecih pelan mendengar jawaban itu. "Serius tanya, nggak malu dengan perkataan lo barusan? Gue pikir alasannya karena masih memiliki sisi kemanusiaan, tapi ternyata demi catatan siswa dan pandangan orang lain."

"Gue–"

Tin

Suara kelakson motor memotong pembicaraan Ayden. Seseorang dengan motor sport-nya menatap keduanya dari balik helm fullface. Membuka kaca helmnya seperti hendak mengatakan sesuatu. "Buruan, Ren."

"Nggak perlu menjenguk Jevan kalau memang bukan demi rasa iba terhadap musibah yang menimpa teman." Louren bangkit, namun langkahnya terhenti mengingat sesuatu. "Perbaiki lagi perkataan lo yang rusak tadi. Gue yakin, lo nggak sebodoh dan serendah itu untuk mengatakan hal buruk kepada orang lain."

Setelahnya, Louren pergi dengan lelaki yang membonceng gadis itu. Meninggalkan Ayden yang termenung di tempat. Ingatannya kembali berputar layaknya kaset rusak. Ia menggeram kesal saat ingatan itu enggan beranjak pergi.

"Suatu saat, kita pasti memiliki kehidupan masing-masing, tolong jangan melupakan satu sama lain," ujar lelaki yang duduk di antara kedua temannya.

Sepulang sekolah, ketiga remaja laki-laki tampak menikmati kebersamaan di pantai. Duduk berdampingan seraya menanti senja tiba. Angin pantai menyapu wajah ketiganya diiringi suara deburan ombak yang membuat siapapun tenang mendengarnya.

"Kita akan selalu bersama," timpal temannya yang sibuk memakai gelang yang baru saja temannya beli. "Ini serius kita pakai gelang sama?"

"Kenang-kenangan selama kita berteman. Kita sudah berteman sejak SMP, tapi belum ada barang apapun yang bisa dijadikan kenang-kenangan," jawabnya. "Bukan begitu, Ayden?"

"Alay." Ayden masih menampilkan wajah datarnya meskipun hatinya merasa senang dengan ide temannya. "Kalau bukan karena paksaan lo, ogah gue nurutin permintaan ini."

"Gengsi digedein," cibir temannya yang berada di tengah. "Pokoknya sampai kapanpun jangan di lepas. Ini perintah, bukan permintaan."

"ARGGGHHHH!"

Lelaki itu mengacak kasar rambutnya. Kenangan apapun yang pernah Ayden miliki sudah ia kubur sedalam-dalamnya. Tetapi, bayangan masa lalu selalu datang menghantui seakan tidak membiarkan dirinya hidup dengan tenang. Lelah menyergap saat perasaan bersalah terus hadir di hidupnya.

"Sialan, enyah lo dari pikiran gue." Ayden bangkit dan bergegas mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, persetan dengan klakson beserta cacian yang ia dapat dari pengendara lain.

JevandraHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin