Empat Puluh Dua

51 5 0
                                    

Spam comment, yuk🍓

***

Aku tidak bisa menangis sebanyak diriku tersenyum sepanjang hari.

***

"Ah, di sini rupanya si tolol," ujar Ozi berjalan masuk diikuti ketiga temannya.

Sontak Jevan mematikan kran air. Ia menatap menatap awas sekitarnya. Semua bilik toilet terbuka menandakan tidak ada orang selain dirinya dan keempat temannya. Melawan Ozi bukanlah hal yang sulit, namun lebih baik menghindar daripada berakhir mendapat surat peringatan atau bahkan dikeluarkan dari sekolah atas kekuasaan keluarga Naksabandi.

"Sampai kapan kamu mengusik hidup saya?"

Arghi melemparkan pesawat kertas buatannya ke arah Jevan. "Sampai nyawa lo melayang, mungkin."

"Supaya sekolah ini terbebas dari anak miskin dan gak tahu diri seperti lo," timpal Ettan menutup pintu agar tidak ada orang yang masuk. Siapapun yang berani masuk, mungkin saja akan bernasib sama seperti Jevan.

"Saya nggak pernah membuat kesalahan, mengapa kalian selalu mengusik ketenangan saya?"

"Mendramatis," cibir Daniel.

Lelaki dengan tinggi semapai berjalan lebih dekat ke arah Jevan lantas menendang perutnya hingga tersungkur. Pukulan demi pukulan Ozi layangkan tanpa belas kasihan sedikitpun. Ketiga temannya menonton dengan santai seakan kejadian di depannya adalah sebuah pertunjukan menarik.

"Anak jalang pembawa sial," maki Ozi terus memberi pukulan pada wajah dan perut Jevan.

Ettan menatap malas ke arah orang yang tengah meringkuk menahan kesakitan di bawah kukungan Ozi. Ia mendekat lalu menendang dan menginjak tubuh Jevan seolah orang di bawahnya bukanlah manusia. "Lo harus di beri pelajaran agar nggak ngelunjak."

"Ka–kalian pengecut," lirih Jevan terbata.

"Bacot, sialan," maki Ozi menarik rambut hingga membuat Jevan mau tak mau berdiri seraya menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. "Tutup aliran air wastafel dan isi hingga penuh."

Entah kepada siapa ia memerintah, tapi Arghi menjalankannya dengan bersemangat seakan ini yang dirinya nantikan sejak tadi. Tak berselang lama, air wastafel terisi penuh dan dibiarkan tetap mengalir hingga membasahi lantai. "Buruan. Keburu majikan nih anjing datang."

Ozi tersenyum miring menatap banyak luka di wajah Jevan akibat ulahnya dan Ettan. Tangannya yang setia berada di rambut Jevan, segera menariknya dan beralih mencengkram tengkuk. Kemudian ia dorong tengkuk temannya itu hingga hampir seluruh bagian kepalanya masuk ke dalam wastafel berisi air. Menekan kuat agar sang empu tak dapat bergerak.

Kini warna airnya berubah menjadi merah diiringi bau anyir. Tangan Jevan tergerak mencari benda apapun yang bisa membantu dirinya agar bisa lepas dari kukungan Ozi. Sungguh, ia hampir kehabisan napas sekarang. Kepalanya terus ditekan hingga keningnya mengenai permukaan wastafel.

"Eummmm." Kepala Jevan bergerak kesana-kemari dengan sulit. Tangannya terus meraba-raba sekitar. Buih-buih keluar dari mulutnya. Napasnya mulai memberat seiring kepalanya terasa sangat sakit.

Ozi menarik rambut Jevan kuat saat dirasa tubuh korbannya mulai melemas, lantas dihempaskan ke pojok toilet. Pukulan keras kembali Ozi layangkan pada wajah dan perut Jevan. "Mati lo, sialan!"

"Membunuh Jevan nggak akan membuat lo masuk penjara," ujar Arghi meraih seragam Jevan di wastafel lantas membuangnya ke tempat sampah. "Semua akan aman."

JevandraWhere stories live. Discover now