Tujuh Belas

100 8 0
                                    

Aku sedang tidak baik-baik saja, namun itu bukan masalah yang besar. Selama masih bisa menyimpannya sendiri, kenapa tidak?

***

"Abi pulang!" seru Louren beranjak menuju pintu utama.

Sementara Jevan, lelaki itu tampak meneguk salivanya dengan susah payah. Satu kelemahannya, ialah terlalu takut berhadapan dengan orang baru. Terlalu sering mendapatkan kalimat kebencian dan tidak pernah diharapkan keberadaannya, membuat Jevan sangat ragu untuk bersosialisasi dengan orang baru.

"Ayah!!!"

Seruan Louren berhasil menarik Jevan dari lamunannya. Lelaki itu dapat melihat sekilas interaksi antara ayah dan anak melalui sela-sela rak berisi berbagai foto dan piala yang menjadi pembatas antar ruang tamu dan ruang keluarga.

Secuil rasa iri hinggap di hatinya melihat bagaimana pria paruh baya itu memeluk putrinya dengan sayang diselingi candaan yang membuat suasana menghangat. Jevan pernah berada di posisi itu, namun itu dulu.

"Yah, mana titipan Liam?" Liam berjalan menuju Rama.

"Titipan naon A'?"

"Janda anak dua."

"Lambemu," tegur Rama seraya mengurai pelukan sang putri lantas berjalan masuk. Atensinya kini beralih pada sosok remaja laki-laki yang spontan berdiri kaku saat menatapnya. "Lah, siapa nih? Anak ayah nambah lagi?"

Mengerjapkan matanya beberapa kali hingga akhirnya tersadar dengan pertanyaan pria paruh baya yang ditujukan padanya. Segera ia bangkit dan mencium punggung tangan pria di hadapannya.

"Bentar lagi jadi anak ayah juga, lebih tepatnya menantu," celetuk Louren.

Liam tidak akan tinggal diam dengan perkataan aneh adiknya, tangannya tergerak memiting batang leher Louren. "Ingat, belum tentu Jevan mau sama jamet."

"Sakit, jomblo! Lepas gak lo! Liam lepasin!" pekik Louren.

"Heboh bener. Pusing ayah punya dua anak heboh. Lihat Jevan, anak idaman bener," ujar Rama. "Duduk aja Jevan, anggap rumah sendiri. Saya mau mandi dulu, setelah itu kita makan bersama.

"I-iya, Om," jawab Jevan kikuk.

Bugh

Menyikut perut Liam dengan keras, kini Louren beralih menjambak rambut kakaknya. "Mampus lo," hardiknya.

"Lepas, Juleha! Sakit anj–"

"Umi! Liam ngomong anjing!" Louren mengadu tanpa melepaskan tarikan di rambut Liam.

Rama meringis pelan saat tak sengaja menatap Jevan yang sialnya juga menatapnya. "Ingat. Mereka bukan anak saya," ujarnya lalu berjalan meninggalkan mereka bertiga.

"TERUSIN! SEKALIAN PAKAI PISAU SAMA GERGAJI BIAR SERU BERANTEMNYA!" teriak Vinja dari arah dapur.

Keduanya terdiam seketika dan duduk dengan tenang dengan Jevan yang menjadi penengah di antara mereka berdua. Lelaki itu tampak gugup berada di antara Louren dan Liam. Bagaimana tidak, ia hanyalah orang asing di sini. Pikirannya berkecamuk, tak seharusnya memperlakukan dirinya seperti seorang yang telah akrab dengan keluarga meraka. Jevan terasa asing dengan sikap ramah orang terhadapnya mengingat selama ini tak ada yang menerima keberadaannya.

Lama terdiam dengan pikiran yang bercabang di otaknya sampai tak sadar bahwa kedua kakak beradik di sebelahnya menampilkan ekspresi kebingungan. "Lo nggak lagi mengalami proses kesurupan reog 'kan, Jev?"

Mengerjapkan matanya beberapa kali lantas menggeleng pelan. "Saya baik-baik saja, Louren."

"Nggak mungkin Jevan kesurupan reog, yang ada lo kali." Liam tampak menahan tawanya melihat raut wajah masam adiknya. "Eh, nggak. Justru tanpa harus kerasukan, tingkah lo emang seperti reog."

JevandraWhere stories live. Discover now