Tiga Puluh Sembilan

45 4 4
                                    

Bugh!

Bugh!

Bugh!

"Sialan lo, Jevan. Mati lo, Anjing!"

Bugh!

Tubuh Jevan melemah seiring pukulan terus didapatkannya. "Ozi, ada apa?"

Ozi, sang pelaku melepaskan kerah seragam Jevan yang ia cengkram. Maniknya menatap nyalang temannya yang menahan rasa sakit, sedetik kemudian ia menyeringai. Menatap orang di hadapannya layaknya singa yang menemukan mangsa.

"Ada apa?" beo Ozi diiringi kekehan pelan. "Bagaimana seorang anak jalang hidup dengan baik selama ini tanpa perasaan bersalah dan malu sedikitpun, heuh?"

"Selama ini saya diam saat kamu mengeluarkan banyak makian, tapi bukan berarti kamu bisa menghina bunda saya," sahut Jevan menyeka darah di sudut bibirnya.

"Bagaimana bisa lo sendiri nggak tahu semua kebusukan jalang yang lo panggil 'bunda'?"

Jevan bangkit dengan bertopang pada dinding. "Apa mau kamu, Ozi? Tiba-tiba saja menyeret saya ke gudang, hanya untuk menghina bunda saya."

"Bukan untuk menghina jalang itu, melainkan membunuh lo dan dia." Ozi berjalan mendekat. "Bahkan gue nggak perlu menyentuh, bisa saja di depan rumah lo terdapat mayat jalang yang ternyata nyokap lo."

Srekkk!

Jevan menarik kerah seragam lelaki yang tingginya hampir sama dengannya. Menatap dalam netra temannya seolah mengatakan bahwa ia tidak main-main dengan segala ucapannya. "Kesabaran saya juga ada batasnya, Ozi. Katakan dengan jelas, apa maumu?!"

"Gue ingin jalang itu mati, bangsat!" Dengan kasar Ozi menghempaskan tangan Jevan, lalu merapikan seragamnya. "Selama ini gue satu sekolah dengan anak dari seorang jalang yang berhasil menghancurkan keluarga gue."

Kedua mata Jevan membola. "Apa maksudmu?"

"Ah, bajingan ini belum paham juga." Lelaki dengan kalung yang bertengger manis di lehernya sebagai ciri khasnya tersenyum kecut seraya memalingkan wajahnya. Persekian detik, tatapannya berubah saat menatap wajah orang di depannya. "Wanita yang lo sayang adalah penyebab kehancuran keluarga gue, sialan."

"Bokap gue rela meninggalkan keluarganya hanya demi seonggok sampah seperti nyokap lo, anjing."

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Ozi terus memukuli Jevan tanpa ampun seolah orang di hadapannya adalah samsak yang biasa ia pakai untuk melampiaskan segala emosinya. "Bertahun-tahun bokap gue menyimpan jalang itu dan menikahinya tanpa sepengetahuan siapapun."

Bugh!

"Selama ini gue mencari keberadaan jalang yang bokap simpan dan berjanji akan membunuhnya," desis Ozi. "Tapi, bukankah kita harus bermain-main terlebih dahulu dengan anaknya? Membunuh siapapun yang berhubungan dengan jalang itu sebelum benar-benar membunuhnya."

Bugh!

"OZI!"

Keduanya mengalihkan atensi pada sumber suara. Di ambang pintu terdapat keempat temannya. Gaven lebih dulu maju melerai keduanya. Memapah tubuh lemah Jevan agar duduk di salah satu kursi yang tampak masih dapat digunakan.

"Masih kuat, kan?" tanya Gaven memastikan yang hanya dibalas anggukan oleh Jevan.

"Wah, gak bener nih bocah," celetuk Ettan.

JevandraWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu