Empat Puluh Enam

73 4 1
                                    

Spam comment, bisa?🍓

***

Kekecewaan yang selalu ia pendam, kini berganti dengan rasa dendam.

***

Bingkai foto dengan boneka beruang berukuran kecil sengaja diletakkan pada meja yang telah ditinggal oleh sang pemilik. Berbagai bunga dan secarik notes berisikan doa dan harapan tampak memenuhi meja tersebut. Sedari pagi, banyak orang berlalu lalang guna menyempatkan diri menghampiri bangku tersebut.

Tatapan sendu tak terbendung di wajah Litha melirik ke bangku milik sahabatnya yang kini telah tiada. Wajah ceria Heera di foto berhasil membuatnya semakin merasa sedih. Tidak ada lagi senyuman lebar dan sapaan pagi yang terlontar dari bibir gadis mungil penuh semangat.

Pandangan Litha naik saat melihat tangan seseorang meletakkan jepit rambut di meja Heera. Daniel, lelaki itu menatap intens bingkai foto temannya sebelum atensinya beralih pada Litha. "Ada apa?"

Litha menggeleng pelan. "Nggak, akhir-akhir ini Heera suka jepit model itu."

"Gue tahu, karena itu gue sengaja membawa jepit itu ke pemiliknya." Daniel menyeringai saat maniknya menatap lekat foto di meja mendiang temannya. "Walaupun terlambat membuat Heera senang, tapi gue lega bisa memberikan jepit rambut kesukaannya."

"Heera melihatnya dari atas sana."

Lelaki itu mengangguk setuju. "Gue harap Heera bisa bahagia di atas sana."

Setiap kata demi kata yang terlontar dari bibir Daniel membuat seseorang berdecih pelan. Telinganya seakan panas mendengar rentetan omong kosong dari lelaki dengan predikat buaya kelas kakap di kelasnya. Dibalik sikap dan ucapannya yang manis, tersimpan kebusukan yang belum tercium oleh orang di sekitarnya. Louren merasa mual mendengarnya, sungguh.

Ia mencoba tetap fokus pada buku bacaannya agar perkataan menjijikkan Daniel mengalihkan atensinya. Namun, semua itu sia-sia. Justru indra pendengarnya seakan rusak jika terus menerus dibiarkan. Louren menghembuskan napasnya pelan. "Litha, setiap pertemuan selalu ada perpisahan. Mungkin cara Heera salah sebab pergi tanpa mengucapkan kalimat perpisahan. Bukankah setiap orang memiliki alasan tersendiri?"

"Tapi kenapa Heera-"

"Mungkin saja dia memang memiliki alasan tersendiri atas kepergiannya yang disengaja." Louren sengaja menekankan kata terakhir seraya melirik ke arah lelaki yang tak kunjung beranjak pergi. "Mungkin jika keluarga Mahatma ingin membawa hal ini ke jalur hukum, penyebab kematian Heera yang sebenarnya terlihat jelas di mata kita."

"Benarkah bunuh diri akibat tekanan ataukah seseorang membunuhnya lalu menyamarkan kematiannya sebagai bunuh diri. Siapa yang tahu, bukan?" imbuh Louren menikmati wajah tegang Daniel. Mungkin lelaki itu pandai menutupi kebusukannya, namun tak sadar bahwa dirinya sangat sulit mengatur ekspresi wajahnya.

Merasa tatapan Louren sedikit mengintimidasi, Daniel memilih berbalik dan duduk di bangkunya sendiri. Mimik wajah tegang Daniel sedikit menghibur Louren meskipun hanya sekejap. Ia akui lelaki itu sangat sulit menyembunyikan ekspresi wajah hingga orang bodoh pun tahu seberapa takut lelaki itu apabila tindakan busuknya kembali terbongkar.

"Louren, jangan buat gue semakin penasaran atas kepergian Heera," ujar Litha mengusap air matanya yang kembali turun.

"Fokus kita sekarang cukup berdoa kepada Tuhan agar Heera berada di tempat yang sangat indah," sahut Louren menenangkan temannya. "Bohong kalau gue nggak merasa kehilangan, tapi gue nggak bisa berlarut dalam kesedihan yang berakhir memberatkan Heera."

JevandraWhere stories live. Discover now