Tiga Puluh

74 4 7
                                    

Mungkin ini cerita yang menarik untuk sebagian orang, tapi itu luka untukku.

***

"Kita selesaikan sekarang juga." Louren berdiri menatap luar melalui jendela. Ia harus cepat membicarakan ini sebelum bunda dan abangnya kembali. Setelah Liam bangun, keduanya langsung berpamitan hendak mencari sarapan. Waktu luang ini Louren gunakan sebaik mungkin. Jika ada sang bunda, ia yakin wanita itu akan melarangnya menekan Jevan.

"Kekacauan di sekolah berawal dari kasus pembunuhan Naren, benar?"

Jevan membeku. Napasnya tercekat mendengar nama itu. Serpihan masa lalu seakan kembali menghantam ingatannya. Luka masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam, kembali muncul ke permukaan. Kepalanya kembali berdenyut sebab tidak mampu untuk berpikir keras saat ini. Bahkan ringisan terlontar dari bibir Jevan.

"Keadaan lo memang nggak memungkinkan untuk berpikir keras, tapi gue nggak mau menunda lagi dan berakhir lo menghindar dari pembahasan ini." Louren tidak terusik dengan ringisan Jevan. Ia sungguh muak dengan Jevan, temannya itu sengaja mengubur semua borok dari orang-orang tidak bermoral di dalam sekolahnya, baik murid maupun pihak luar yang turut terlibat. "Naren dan lo butuh keadilan."

"Jangan terlibat jauh dengan kehidupan saya, Gradiola Flourenzya."

"Kenapa?" Gadis itu berbalik. Melipat kedua tangannya di depan dada seraya menatap congkak ke arah Jevan. "Lo takut dengan ancaman manusia kotor di dalam sekolah apabila lo berani mengatakan kebusukan mereka? Takut orang terdekat lo akan lenyap karena terkena imbasnya, termasuk gue?"

"Gue Gradiola Flourenzya, nggak semudah itu mereka menyingkirkan gue. Sampai kapanpun gue dan beberapa orang suruhan ayah akan mencari tahu pelaku pembunuhan Naren," tekadnya. "Naren dan lo akan segera mendapatkan keadilan atas perlakuan buruk orang di dalam sekolah."

"Apa yang akan kamu dapat setelah mengetahui sebuah rahasia yang bahkan nggak ada sangkut pautnya dengan kehidupanmu, Louren?" Lelaki itu menahan diri agar tidak terpancing emosi apabila ingin suasana tetap tenang. "Semua itu terjadi sebelum kedatanganmu sebagai siswi pindahan. Kamu nggak berhak untuk mengungkitnya, terlebih jika alasanmu melakukan ini hanya karena ingin tahu."

Jevan menjeda kalimatnya. Ia mengalihkan pandangannya saat gadis yang tengah berdiri di dekat jendela menatap lekat ke arahnya.

"Kejadian itu seperti pukulan telak bagi kami selaku teman sekelas Naren hingga menimbulkan trauma. Mungkin ini cerita yang menarik untuk sebagian orang, tapi itu luka bagi saya."

"Jangan lupakan Ayden yang juga terpukul atas kasus Naren." Lelaki dengan pakaian khas pasien itu tertegun mendengar penuturan dari Louren. Tidak! Bagaimana gadis itu mengetahui tentang kehidupannya sejauh ini? Bukankah tidak ada seorangpun yang mengetahui kehidupan pribadinya selain masalah dengan keluarga? Semua ini terlalu cepat untuk orang asing mengetahui rahasianya.

Louren tersenyum kecut. "Nggak perlu terkejut, Jevandra. Semua rahasia aman bersama gue."

Gadis itu hengkang dari ruang inap. Ia yakin bahwa Jevan akan bergulat dengan pikirannya sendiri. Louren tahu, bahkan sangat tahu. Mental lelaki itu sudah lama rusak diakibatkan sang ayah dan perlakuan buruk banyak orang terhadapnya. Sedikit saja Louren hancurkan nuraninya, mungkin Jevan akan berubah menjadi predator yang sangat berbahaya. Memangsa siapa saja yang mengusik kehidupannya. Sangat menyenangkan apabila ia berhasil membuat lelaki itu membalaskan semua kesakitan yang selama ini dialaminya.

***

Varel tersenyum tipis saat pandangannya bertabrakan dengan seorang gadis yang memiliki janji temu dengannya. Penantiannya selama kurang lebih 15 menit membuahkan hasil. Ia sangat menghargai waktu, terlambat satu menit saja tidak ada di dalam kamus hidupnya. Namun untuk gadis itu, ia rela menunggu lebih lama dari waktu yang dijanjikan sebelumnya.

JevandraWhere stories live. Discover now