Dua Puluh Satu

74 4 0
                                    

Setiap orang berhak beristirahat saat rasa lelah kembali hadir.

***

Suasana kelas tampak ramai. Pagi ini, guru mengadakan rapat bersama kepala sekolah dan ketua yayasan untuk membahas kasus Daniel. Jika bukan karena salah satu putra dari donatur tetap, mungkin pihak sekolah dengan mudah mendepak murid bengalnya satu itu dengan mudah.

Sayang, kekuasaan dari keluarga muridnya ini tidak dapat diragukan. Sekolah tidak ingin mengambil risiko apabila keluarga dengan marga Bayanaka menarik semua saham serta apapun itu yang berkaitan dengan sekolah. Meskipun masih banyak para donatur lainnya, namun keluarga tersebut tidak bisa dianggap remeh. Tak terkecuali teman dekat Daniel.

"Apa kabar lo? Lupa sama kita, hm?" sapa Ozi menduduki meja Jevan. Tangannya tergerak merebut buku yang tengah Jevan baca, lalu memukul keras kepala si pemilik buku tersebut.

"Punya teman baru tuh," sahut Ettan berdiri di belakang Jevan.

Jevan yang merasa terpojok hanya bisa pasrah jika tidak lama lagi ia kembali mendapatkan kekerasan. "Kalian mau apa?"

"Wih, baik hati sekali Jevan menawarkan diri," timpal Argi duduk di bangku kosong bersebelahan dengan bangku Jevan.

Daniel yang baru saja datang seenaknya mendorong keras kepala Jevan hingga terbentur dinding di sampingnya. "Lo nggak rindu kita, heuh?"

Kini, giliran Ettan yang menarik rambut lelaki itu hingga membuat kepalanya mendongak seraya menahan nyeri. "Beberapa hari ini kita bebasin lo. Tapi sepertinya hidup lo kembali suram tanpa ada kita."

"Kan kita memberi warna di kehidupan bedebah satu ini," timpal Arghi memasukkan permen susu ke dalam mulutnya lalu membuang bungkusnya tepat mengenai wajah Jevan.

"Lo yang nyebarin berita itu berlandaskan dendam terhadap gue, kan?" bisik Daniel.

Sontak Jevan menggeleng rakus, takut jika mereka semakin menyudutkannya. "Bu-bukan saya. Saya nggak punya kuasa hingga membuat berita seperti itu."

Ozi yang mendengar itu menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Benar! Anjing satu itu nggak mungkin berani melawan kita."

"Cabut!" titah Ettan berjalan keluar kelas.

"Ikut nggak lo berdua?" Bukan. Kalimat yang terlontar dari Daniel bukan ditujukan pada Jevan, melainkan pada Litha dan Heera yang baru saja menginjakkan kaki di kelas.

"Malas, ntar istirahat aja," jawab Litha.

Heera membenarkan ucapan temannya. "Kalian di sana sampai istirahat, kan? Nanti kita nyusul."

"Yo," balas Daniel melanjutkan langkahnya diikuti Ozi dan Arghi.

Jevan tampak mengusap pelan kepalanya yang nyeri. Sedari tadi jantungnya berdetak dua kali lebih cepat sebab takut keempatnya menyiksa lebih parah. Batinnya berulang kali berucap rasa syukur karena ia tidak mendapatkan kekerasan fisik yang sangat parah pagi ini. Ia kembali melanjutkan membaca buku sembari bertanya-tanya mengenai Louren yang tidak kunjung terlihat batang hidungnya.

Di tempatnya, Gaven sibuk membaca buku tanpa berminat untuk mengikuti teman-temannya. Ia sedikit tidak fokus membaca sebab pikirannya kembali terlempar pada terror hingga kasus Daniel yang membuat geger seantero SMA Cendrawasih.

"Gue yakin, orang itu nggak jauh dari sini."

***

Brakkk

"AAAAAAA!!!"

Tin...

Tin...

Tin...

JevandraWhere stories live. Discover now