Delapan

147 8 1
                                    

Terkadang tempat yang terlihat aman, justru memiliki segudang kejadian busuk di dalamnya.

***

"Seharusnya lo malu sama perilaku buruk yang ada dalam diri lo. Pulang sana, orang tua lo pasti malu punya anak biadab seperti lo."

"Sialan!"

"Anjing!"

Bugh

Bugh

Gaven menatap datar Ozi yang sibuk meninju samsak. Tidak ada niatan sedikitipun menghentikan kegiatan temannya. Biarlah Ozi meredamkan amarahnya sendiri.

"Tangan Ozi berdarah," bisik Daniel seraya bergidik ngeri saat tak sengaja melihat darah di tangan Ozi sebab tak memakai sarung tinju.

Lelaki itu menggeleng pelan. "Nanti dia tenang dengan sendirinya. Tugas kita mantau dia, jangan sampai melakukan hal berbahaya."

"Mau bilang iba, ntar Ojik ngamok," timpal Arghi.

Gaven terdiam. Tatapannya tak teralihkan sedikitpun pada teman di depannya. Ia akui jika perkataan Louren tadi ada benarnya, namun dari perkataan tersebut berimbas pada kenangan buruk Ozi. Berteman sejak awal duduk di bangku kelas sembilan membuat Gaven sedikit paham mengenai pokok permasalahan yang dialami teman-temannya.

Beruntung tadi ia datang tepat waktu dan menarik Ozi keluar kantin. Jika tidak, mungkin gadis itu menjadi sasaran empuk kemarahan temannya. Tanpa meminta ijin terlebih dahulu pada guru piket, Gaven mengajak ketiga temannya ke rumah. Mengingat kekuasaan sang ayah di sekolah, tidak ada yang berani menghentikan apa yang dirinya lakukan.

Dibandingkan dengan yang lain, hanya Ozi yang memiliki sifat tempramental yang tinggi. Tidak, Gaven tidak bermaksud membongkar sifat buruk temannya. Hanya saja sikap Ozi yang semena-mena membuat citranya di depan semua orang terlihat buruk. Namun akan terasa sia-sia jika memberikan nasihat, karena respon dari pemeran utama hanyalah kemarahan.

"Sampai kapan lo terus melukai diri sendiri?" tanya Gaven dengan tenang.

"Gue anak biadab!"

"Sialan!"

"Anjing!"

Bugh!

"Makin ganas, nyet!" heboh Daniel.

Gaven membuang napas kasar. "Mikir pakai otak! Kalau lo anak biadab, kenapa nggak dari bayi dibuang?"

"Akhirnya," gumam Arghi saat temannya tak lagi meninju samsak.

Ozi terdiam. Apa yang dikatakan Gaven ada benarnya. Seharusnya berpikir dengan matang sebelum mengambil langkah ke depan. Jika kedua orang tuanya tak mengharapkan ia lahir, lantas untuk apa mereka masih memperbolehkannya tinggal di rumah?

"Nyesel kan nyiksa diri sendiri? Emosian sih," sindir Daniel seraya sibuk membalas banyak pesan dari pacarnya.

"Bi, tolong bersihkan luka Ozi," pinta Gaven saat melihat pembantu di rumahnya sedang memberi makan kucing milik sang bunda.

Wanita paruh baya dengan daster yang melekat pada tubuhnya mengangguk sopan lantas mengajak Ozi ke dalam rumah. "Terima kasih, Bi."

"Sama-sama, Den."

Setelah Ozi masuk ke dalam rumah, Gaven menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya memandang lurus ke arah kolam renang. Hatinya sedikit tenang dengan adanya taman belakang rumah yang asri dan sejuk, ditambah kolam serta beberapa alat olahraga di sampingnya.

"Lo kapan punya pacar? Terlalu banyak belajar nggak baik buat otak lo." Daniel bersuara seraya menepuk bahu Gaven.

"Kapan lo tobat? Terlalu banyak pacar nggak buat lo terlihat keren."

JevandraWhere stories live. Discover now