Empat Puluh Tiga

56 5 3
                                    

Spam comment, jangan lupa🍓

***

Tidak semua masalah yang kita miliki harus diceritakan kepada orang lain, sekalipun itu orang terdekat kita.

***

"Ayo kita bersenang-senang malam ini, Heera."

Daniel berbalik, tersenyum lembut ke arah temannya sejak pertama kali menjadi murid SMA Cendrawasih. "Sudah lama sejak terakhir kali kita menghabiskan waktu bersama. Mau menonton, sekarang?"

"Lo kenapa, Niel? Gelagat lo aneh," tutur Heera curiga.

"Gue? Memangnya gue kenapa?" Bukannya menjawab, Daniel justru balik bertanya.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Dimana Ettan? Kenapa lo ada di sini?" cecar Heera.

Daniel mendudukkan dirinya di salah satu bangku panjang. "Gue yang minta tolong Ettan mengundang lo ke sini, and... surprise!!"

"Garing banget," cibir Heera berjalan mendekat ke arah Daniel lantas duduk di samping temannya itu. "Dalam rangka apa?"

"Dalam rangka menghabiskan waktu bersama calon gue," jawab Daniel terkikik geli.

"Playboy kelas kakap kalau ngomong udah kayak sales panci keliling," cibir gadis itu. "Serius, ada apa?"

"Hanya ingin menghabiskan waktu dengan teman yang selalu ngertiin gue lah," jawab Daniel bangkit berjalan ke pinggir rooftop.

Lelaki dengan pakaian casual itu melirik ke arah bawah tepat di mana bagian belakang mall, lalu maniknya kembali menatap gedung-gedung pencakar langit di sekelilingnya. "Gue tahu, lo nggak bahagia dengan semua aturan keluarga. Itu mengapa gue mau ajak lo dengan bantuan Ettan."

"Kenapa lo nggak langsung menghubungi gue?" tanya Heera turut berdiri di samping Daniel.

Daniel bungkam. Ia enggan menjawab pertanyaan temannya. Kini kepalanya menoleh, menatap wajah Heera dari samping. "Heera, boleh gue tanya?"

Gadis yang tengah menikmati angin yang menyapu lembut wajahnya itu berdeham pelan. "Tanya aja. Kenapa harus izin?"

"Apa yang lo lakukan saat rahasia yang selama ini lo tutup rapat ternyata tercium oleh orang lain?"

"Meski gue panik, tapi seenggaknya gue akan berusaha membungkam orang itu bagaimanapun caranya," jawab Heera tenang.

"Kenapa?"

Gadis dengan poni tipis itu merapatkan tubuhnya ke pembatas rooftop yang hanya setinggi pinggulnya. Merentangkan tangannya seraya menghidup udara malam seakan tidak akan pernah bisa pergi keluar rumah lagi dengan bebas. "Jika orang itu membocorkannya, semua orang akan percaya dan menggunjing gue. Meskipun tidak akan bertahan lama, tapi sampai kapanpun ucapan semua orang akan menghantui gue, dimanapun gue berada."

"Karena itu, Bagaimanapun caranya gue harus membungkam orang itu agar nama gue selalu baik," Lanjutnya.

"Bagaimanapun caranya? Membunuh, misalnya?" tanya Daniel.

Heera mengedikkan bahunya acuh lantas berbalik. "Mungkin saja, karena gue nggak mau dihantui rasa takut atas penilaian buruk orang lain."

"Bagaimana kalau gue melakukan semua saran lo?" tanya Daniel berpikir keras.

Kedua tangan Heera terlipat di depan dada dan tak lupa dengan tatapan penasarannya. "Lo punya rahasia besar apa sampai bertanya demikian?"

"Rahasia yang bahkan bisa membuat nama baik keluarga gue buruk di mata semua orang."

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang