Sembilan Belas

75 6 0
                                    

Dunia ini hanyalah panggung sandiwara dan aku adalah salah satu tokoh di dalamnya.

***

Toilet siswi yang tampak sepi tidak membuat Litha mengurungkan niatnya untuk buang air kecil. Dirinya bukanlah tipikal perempuan yang merasa takut berada di toilet sekolah jika tidak bersama temannya. Segera ia masuk ke dalam bilik terdekatnya.

Tak berselang lama, pintu bilik itu terbuka.
Namun, gadis itu tak kunjung keluar. Tatapannya terpaku pada tulisan berwarna merah di cermin wastafel depan toilet. Lidah Litha seakan kelu dan tubuhnya terasa sulit digerakkan.

Perbuatanmu dimasa lalu akan mulai menujukkan akibatnya, bersiaplah!!!

Menggeleng pelan untuk menarik diri dari alam  bawah sadarnya. Kakinya melangkah pelan menuju wastafel. Menyentuh sedikit noda merah yang menjadi tinta di cermin wastafel menggunakan jari telunjuknya. Diarahkannya ke hidung bangirnya lantas mengendus guna membuktikan bahwa noda merah tersebut adalah darah ataukah tinta bolpoin.

Sedetik kemudian Litha bergegas membasuh tangannya. Yakin bahwa indra penciumannya sedang tidak bermasalah, bau anyir. Bau itu baru terasa sangat menyengat sekarang. Tak ingin berlama-lama, ia segera meninggalkan toilet siswi dan bergegas memanggil petugas kebersihan dengan memberi beberapa lembar uang berwarna merah untuk tutup mulut.

"Sialan, siapa yang dimaksud? Gue? Gue nggak pernah melakukan hal keji," gumamnya seraya berjalan menuju kelas.

***

Srekk

Bugh!

Bugh!

Langit mulai gelap pertanda malam akan tiba. Baru saja menginjakkan kakinya di ambang pintu rumahnya, tarikan kuat pada kerah kemeja seragam sekolah diikuti bogeman mentah berhasil membuat tubuh Daniel limbung. Tidak sampai di situ, tubuhnya didorong hingga menghantam dinding.

"Memalukan! Kabar kamu melakukan hal itu terhadap salah satu siswi dari sekolah lain sudah menyebar!" bentak ayahnya, Bryan. "Brengsek kamu, Daniel!"

Kekehan sinis diiringi ringisan pelan terlontar dari Daniel. "Kita hampir tidak memiliki perbedaan, senang bermain wanita. Bukankah begitu, Ayah?"

"Kamu tidak berhak mengurusi hidup saya!" Bryan memalingkan muka. "Urus dirimu sendiri. Jangan mencemari nama baik saya selama kamu masih hidup dengan semua biaya dan fasilitas yang telah saya berikan."

Meski tubuhnya terasa remuk, Daniel mencoba bangkit. "Bukankah seorang Bryan Gilbert Bayanaka memiliki kekuasaan dan kekayaan? Menutup mulut semua orang dengan secuil kekayaannya tidak masalah, bukan? Lakukanlah, demi putramu ini."

"Jangan mulai, Daniel. Saya sudah pusing dengan masalahmu ini. Bisakah untuk tenang dan tidak berulah?" Bryan menghela napas kasar.

"Sayang, kenapa ribut-ribut?"

Suara lembut. Ah tidak, Daniel yakin suara menjijikkan itu sengaja dibuat-buat agar ayahnya luluh. Seseorang tampak berjalan keluar dari lift dengan gaya anggunnya. Dress ketat tanpa lengan di atas paha itu memperlihatkan lekuk tubuhnya dan belahan dada yang rendah serta sepasang higheels, tak lupa rambut hitam curly tergerai indah. Daniel yang melihat itu berdecih pelan lantas memalingkan muka ke sembarang arah seraya menyampirkan tasnya.

"Anak ini lagi-lagi membuat masalah."

Melingkarkan tangannya di lengan Bryan, lantas menatap lembut ke arah lelaki di hadapannya. "Daniel, lebih baik masuk kamar. Nanti aku yang akan membantumu menyelesaikan semuanya."

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang