Bab 89 Pernikahan Adit Dan Naira

412 9 0
                                    

Semua anggota keluarga Hardinata memperlakukan Naira dengan sangat baik, tak ada seorang pun di antara mereka yang menaruh curiga jika hubungan Adit dan Naira hanya sandiwara belaka. Seperti saat ini semua orang sedang menikmati makan malam. Terlihat raut wajah mereka memancarkan kebahagiaan. Terkadang canda tawa menyelingi acara makan malam mereka.

"Nak, apa benar kamu bekerja bersama Adit?" tanya Ibu Diana yang menatap ke arah Naira. Sejenak dia menghentikan aktivitasnya.

"I-iya, Bu," jawab Naira yang terlihat gugup.

"Oh, pantesan kalian berpacaran, toh kalian setiap hari bertemu." Ibu Diana tersenyum menggoda kepada Naira dan Adit. Kebetulan sekali posisi duduk Ibu Diana berhadap-hadapan dengan Adit dan Naira, jadi bisa lebih leluasa memperhatikan keduanya.

"Tapi Bayu tidak pernah melihat Naira di kantor," sela Bayu. 

"Emmmm, Naira baru beberapa hari bekerja. Jadi mana mungkin kamu melihatnya." Adit segera menjawab, agar Naira tak menjawabnya. Terlihat Adit tak menyukai dengan pertanyaan Bayu, takut kebohongannya terbongkar.

"Katanya kalian sudah berhubungan tiga bulan?" selidik Kakek Brata, karena pemikirannya bagaimana Adit bisa berhubungan? Jika Naira saja baru beberapa hari masuk kerja.

Spontan Adit dan Naira sungguh dibuat bingung untuk menjawab pertanyaan Kakek Brata, yang menurut mereka sangat menyulitkan. Adit dan Naira saling berpandangan. Terlihat raut wajah Naira sedikit memucat takut sandiwaranya akan terbongkar.

"Hemmm, memang benar kami sudah berpacaran tiga bulan. Kami secara kebetulan bertemu di luar. Jadi sebelum Naira masuk bekerja di perusahaan, kita sudah menjalin hubungan," terang Adit, berusaha meyakinkan hubungan palsunya dengan Naira kepada semua anggota keluarganya. Sembari tatapannya melirik ke arah Naira, mengisyaratkan agar Naira mengikuti kebohongannya.

"Benar begitu, Nak?" Kakek Brata melirik ke arah Naira.

"Be-benar, Kek." ucap Naira sembari meringis, karena Adit dengan cepat mencubit keras pinggang Naira, agar dirinya tidak salah berbicara.

"Emmmm, kamu pelit Dit, tak pernah bilang-bilang sama kami, jika kamu sudah memiliki seorang kekasih," goda Tiara kepada Adit.

"Namanya bukan kejutan lagi, jika aku memberitahu kalian. Iya kan, Sayang?" Adit melirik ke arah Naira sembari mempertajam lirikan matanya, agar Naira mengerti akan maksudnya itu.

"I-iya." Untuk yang kesekian kalinya, Naira berbicara gugup. Ingin rasanya Naira cepat mengakhiri makan malamnya, mengakhiri segala kebohongan di antara mereka berdua.

"Sudah, sudah jangan bicara terus! Kalau begini terus kapan kita akan menyelesaikan makan malamnya?" tegur Bayu sembari tangannya menepuk pelan punggung tangan sang istri.

Mereka semua pun melanjutkan kembali menyantap makanan. Tak ada yang berbicara, hanya suara garpu dan sendok saja yang terdengar saling bersahutan.

Usai menyantap makanan, anggota keluarga Adit mengajak Naira untuk berbincang-bincang di ruangan keluarga. Meskipun kerap Naira menolaknya dengan alasan takut akan kemalaman, namun keluarga Adit tetap memaksa, dan mau tidak mau Naira pun menurutinya.

Lama-kelamaan rupanya Naira mulai terbiasa dengan kedekatan keluarga Adit kepadanya. Tak ada perlakuan yang membeda-bedakan status sosial antara Naira dengan keluarga Adit. Semua anggota keluarga Adit menerima Naira dan keluarganya dengan segala kekurangan dan kelebihan. Mereka mengetahui diri Naira yang terlahir dari keluarga yang tak punya dan harus berjuang banting tulang demi Ibunya yang tengah sakit-sakitan, dan itu salah satu yang membuat keluarga Adit menyukai Naira. Wanita yang baik, mandiri, dan pekerja keras, itu lah penilaian mereka kepada Naira. Apalagi Tiara yang pernah merasakan hidup susah, bagaimana sulitnya mencari rezeki untuk melangsungkan kehidupan? Dan baginya status sosial tidak menjadi masalah dalam hubungan Adit dan Naira. Dalam diri Naira seolah-olah dia melihat cerminan dirinya sendiri.

Punya Suami Serasa Tak Punya SuamiWhere stories live. Discover now