Bab 38 Berusaha Mencelakai

424 20 0
                                    

Jam sudah menunjukkan waktu pukul empat sore. Cuaca pun sangat teduh dan cukup bagus untuk melakukan perjalanan. Aku dan anak-anak serta Ibuku sudah siap untuk berangkat melakukan perjalanan, hanya Kak Arman saja yang tak ikut dalam perjalanan nanti. Karena tak lama sesudah mengantarkan Ibu ke rumahku, Kak Arman langsung kembali lagi pulang karena alasan pekerjaan yang tak bisa dia tinggalkan.

Segala keperluan dan perbekalan yang kami butuhkan nanti sudah sepenuhnya aku persiapkan, tak ada yang terlupakan. Tinggal menunggu Mas Bayu dan Adit saja datang.

Hanya saja Ibu yang tampak menggerutu, karena sebenarnya Ibu sudah tidak mau berurusan lagi dengan Mas Bayu. Kalau saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rizki dan Bilar, sudi Ibu harus mengabulkan permintaanku ini. 

Apalagi kondisi lutut Rizki yang belum sembuh total sepenuhnya. Tampak sesekali Rizki masih meringis kesakitan.

"Tiara, kamu ini jadi seorang Ibu nggak ada kasihan-kasihannya sama anak," gerutu Ibu yang dengan telatennya mengipasi luka di lutut Rizki.

"Ada apa sih, Bu? Kok jutek amat sama Tiara," balasku kesal, karena perkataan Ibu yang menurutku itu terlalu pedas terdengar oleh telingaku, dan Ibu juga selalu memasang wajah masam kepadaku.

"Ya, iya Tiara, Ibu kesal sama kamu. Lihat tuh lututnya Rizki sakit kayak gitu! Kamu tetap aja maksain bawa Rizki ke Ngawi. Atau jangan-jangan kamu sudah tergoda sama mantanmu itu," cerocos Ibu yang tanpa ada hentinya terus-terusan menyindirku. Dan yang paling aku tak suka adalah Ibu suka mencebikkan bibirnya kepadaku. Rasanya benar-benar jika berurusan dengan nama Mas Bayu, Ibu akan berubah menjadi singa yang siap memakanku saat itu juga.

"Isssh ... Ibu, inikan perjalanannya memakai mobil Adit. Jadi tak akan sampai mengganggu kenyamanan Rizki dong, Bu." Kesalku pada Ibu.

"Ngomong aja kamu ingin membantu si kutu kupret Bayu itu," cibir Ibu kepadaku.

"Apa sih, Bu,salahnya membantu Mas Bayu? Toh ini juga ujung-ujungnya demi kebaikan Rizki dan Bilar juga," ucapanku mulai pelan dan lembut, tak ingin membalas kemarahan Ibu dengan marah lagi.

"Isssh ... Mas, Mas, dia bukan suamimu lagi. Jangan panggil dia dengan sebutan itu lagi!" Ibu menjewer telingaku dengan kuat.

"Ibu, Ibu, gitu aja marah," sungutku pelan, seraya membalikkan tubuhku ke belakang. Agar komat-kamit bibirku yang kesal ini, tak terlihat oleh pandangan Ibu.

"Pokoknya awas kalau kamu balikan lagi sama si kutu kupret itu, tak akan Ibu akui lagi sebagai anak!" ucap Ibu tegas, dengan satu telunjuknya ditusukkan ke jidatku.

"Iya, iya, Ibuku, Sayangku," balasku mengiyakan perkataan Ibuku, tapi sebenarnya di dalam hati ini amal dongkol. Lalu tanganku mengusap pelan jidatku, yang tadi ditunjuk kasar oleh telunjuk Ibu

Sudah bosan menceramahiku habis-habisan, kemudian Ibu mengajak Rizki dan Bilar menonton TV sembari menunggu berangkat ke Ngawi.

Sedangkan aku sudah mulai kesal dan bosan menunggu Mas Bayu dan Adit yang tak kunjung datang juga. Sudah lewat hampir setengah jam dari jam empat, tapi mereka belum terlihat.

Aku mondar-mandir di dalam rumah, tak enak duduk. Sesekali aku menengok ke luar, berharap mereka sudah datang, tapi nihil tak ada tanda-tanda kedatangan mereka.

Aku putuskan untuk memejamkan kedua mataku dulu, sembari bersandar ke kursi.

Sesaat kemudian kira-kira satu jam setelah aku tertidur. Baru terdengar suara salam dan ketukan pintu dari arah luar pintu.

Aku segera bangun, dengan kesadaran yang belum seutuhnya ada dalam tubuhku. Aku mengucek-ngucekkan mataku dan melihat jam yang menempel di dinding tembok rumahku. Ternyata sudah jam lima sore. Mungkinkah itu salah dari mereka, Adit atau Mas Bayu yang mengetuk pintu? Batinku penasaran.

Punya Suami Serasa Tak Punya SuamiWhere stories live. Discover now