Bab 6 Pertemuan Yang Tak Terduga

897 44 0
                                    

Besok paginya, seperti biasa aku melakukan aktivitasku sehari-hari. Membereskan rumah itu adalah hal yang wajib aku lakukan pertama kali setelah selesai melaksanakan sholat subuh. Selama aku menikah dengan Mas Bayu, rumahku tampak selalu rapi dan bersih. Aku didik kedua anakku juga dengan menanamkan jiwa kebersihan dan kerapihan, jadi tak aneh jika kedua anakku tidak menyukai sesuatu yang kelihatan tampak kotor atau berantakan. Hal sekecil apapun jika menyangkut dengan kebersihan dan kerapihan mereka berdua akan langsung bereaksi. Contoh kecilnya, jika barang-barang milik mereka tidak tertata dengan rapi, tanpa disuruh aku pun, mereka berdua akan langsung membereskannya.

Setelah selesai beres-beres, aku langsung berkutat di dapur untuk memasak. Kebetulan Ibu dan Kak Arman belum pulang, mereka akan menginap beberapa hari lagi. Kak Arman yang mempunyai usaha dagang sayuran di pasar, sudah mempercayakan dagangannya kepada Kak Ayu selama dia ada di sini.

Setelah semuanya selesai, aku langsung bersiap-siap untuk mempersiapkan diri bekerja sebagai tenaga pengajar non formal.

Aktivitas pekerjaanku dimulai dari jam 10 siang, lumayan tidak terlalu pagi. Aku bisa mengurus rumah dan anakku terlebih dahulu. 

Aku selalu mengantarkan si sulung sekolah, karena jaraknya yang cukup lumayan jauh dan harus pergi naik angkot, membuat aku tak berani membiarkan si sulung pergi sendirian. Ya, meskipun kerap si sulung menyatakan keberaniannya untuk pergi sendiri. 

"Bu, Kakak pergi sendiri saja, ya! Kakak kan sudah besar!" pinta si sulung ketika menyatakan keberaniannya.

Ah, tidak akan aku biarkan anakku celaka. Mereka adalah hidupku. Akan kujaga mereka sepanjang aku masih hidup.

Semuanya sudah selesai, si sulung pun sudah aku antarkan ke sekolah menggunakan sepeda motorku. Aku mengganti pakaian rumahku dengan pakaian yang cukup rapi. Aku mengenakan celana panjang hitam yang tidak terlalu ketat, atasannya aku kenakan kemeja panjang berwarna biru yang sangat pas dengan kulit putihku, kemudian aku serasikan dengan jilbab biru, cukup senada dengan baju yang aku kenakan. Aku menatap wajahku di depan cermin. Dengan polesan riasan yang tak terlalu mencolok dan natural, membuat aku terlihat masih cantik dan mempesona untuk ukuran wanita seusiaku. Aku tersenyum-senyum sendiri melihat pantulan wajahku yang cantik di depan cermin.

"Apakah aku bisa mendapatkan jodoh yang lebih baik lagi dari Mas Bayu?" Itulah yang selalu menggelitik pikiranku di saat aku akan bertekad mengakhiri pernikahan ini.

Aku melangkah keluar dari kamar menuju ruang depan, dimana tempat si bungsu berada. Dia sedang bercengkrama dengan Ibu dan Kak Arman. Tampaknya dia kelihatan bahagia dengan keberadaan Ibu dan Kak Arman di sini. Selama mereka di sini, aku sengaja menitipkan si bungsu kepada mereka selama aku mengajar. Karena biasanya aku selalu membawanya ke tempat aku mengajar.

Aku menghampiri mereka. Dan terlihat reaksi mereka terperangah kagum melihat penampilanku yang modis dan wajahku yang cantik berseri-seri.

Ibu menatapku tak henti-henti dan berkata "Sungguh kamu cantik sekali, Tiara!" kata Ibu memujiku dan tersenyum lebar, kagum melihat kecantikan anak perempuannya. Walaupun sudah mempunyai anak dua, tak terlihat seperti wanita yang sudah menikah. Tubuhku masing langsing seperti tubuh anak gadis belia.

"Ah, Ibu bisa saja, mentang-mentang aku anak perempuan selalu saja dibilang cantik." Aku tersipu malu atas pujian Ibu tersebut.

"Benar, Ibu tidak bohong, kamu masih cantik, tuh, buktinya tubuhmu selangsing itu, seperti anak gadis saja." Ibu melihat tubuhku dari atas sampai bawah, seakan-akan memeriksa ada apa dengan tubuhku ini?

Aku kikuk, mundur kebelakang menghindar tatapan ibuku.

"Ya, aku langsing karena aku jarang makan, kan? punya suami pelit." Aku terkekeh geli, bercanda sedikit untuk menghibur diriku sendiri.

Terlihat wajah Ibu sedikit masam dan bibirnya manyun, mungkin tak senang dengan jawabanku tadi. Mungkin itu sebuah tamparan bagi ibu, mengingat anak perempuannya memiliki nasib yang buruk bersuamikan Mas Bayu yang pelit.

"Kamu langsing mewarisi seperti tubuh Ibumu ini, nih ... nih ...,"   ucap Ibu seraya memperlihatkan tubuhnya kekanan dan kekiri, berlenggak-lenggok bak peragawati saja.

Aku tersenyum geli melihat kelakuan Ibu yang sangat luar biasa percaya dirinya. 

"Hemm ... luar biasa cantik dan langsingnya ibuku ini!" tak kalah aku juga memberikan pujian selangit kepada Ibu.

Ibuku tersenyum malu-malu dan berkata, "Aduh ... yang benar saja Tiara, Ibu masih cantik? Sudah nenek-nenek begini."

Tapi tiba-tiba, Ibu menghentikan senyumannya dan berubah menjadi wajah serius.

"Eits, tapi ingat Tiara, mumpung kamu masih muda dan cantik, kamu harus akhiri pernikahanmu! Ibu yakin, kamu akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dari si Bayu pelit itu. Ibu tak akan rela kamu menjadi istri si Bayu untuk selamanya, kamu sudah cukup menderita, Tiara," tegas Ibu padaku.

"Ah, Ibu sudahlah cukup, jangan di bahas lagi! Tiara bosan mendengarnya lagi," ucapku malas, seraya aku mengambil alih si bungsu dari pangkuan Kak Arman ke pangkuanku.

"Iya, awas! Kalau kamu masih memberikan kesempatan pada si Bayu menjadi suamimu lagi, tak akan Ibu akui lagi kamu sebagai anak Ibu, paham!" ancaman Ibu membuatku bergidik ngeri dan takut.

"Sudah ... sudah ...! Jangan di bahas masalah itu lagi, biar kita tunggu dulu si Bayu pulang," potong Kak Arman untuk menghentikan ocehan Ibu tersebut.

"Ya, sudah aku pergi dulu, ya!" Aku mengakhiri percakapan. 

Aku menitipkan si bungsu kepada mereka berdua, tak lupa kupeluk dan ku cium juga kening anakku. Semoga dia baik-baik saja selama aku bekerja di luar.

Aku berpamitan pergi. lalu aku hidupkan sepeda motorku dan pergi melaju meninggalkan rumah, dengan kecepatan sedang, karena keselamatan bagiku adalah nomor satu.

          ***

Sesampainya di tempatku mengajar. Terlebih dahulu aku memarkirkan sepeda motorku. Lalu berjalan  melangkah menuju ruang mengajarku.

Ternyata Anak-anak lesku sudah siap memulai pelajaran. Tak sulit bagiku untuk mengajari mereka, karena kebanyakan dari murid lesku adalah orang dewasa yang tengah memperdalam kemahiran komputernya untuk mencari pekerjaan. Ya, untuk saat ini, perusahaan-perusahaan kebanyakan mempekerjakan orang-orang yang mahir dalam mengoperasikan komputer, karena memang itulah sarat yang telah ditentukan oleh perusahaan untuk menunjang kelancaran dalam bekerja.

Tenaga pengajar di tempat ini ada 3 orang. Aku adalah satu-satunya tenaga pengajar perempuan di tempat ini. Aku belum cukup mengenal dengan rekan kerjaku yang lainnya. Bahkan aku belum sempat melihatnya juga, karena memang aku baru bekerja disini.

Ketika aku sedang mengajari beberapa murid lesku. Tiba-tiba terdengar ketukan dari arah pintu.

Aku berhenti sejenak, kemudian aku melangkah ke arah pintu dan membukanya.

Aku terperangah kaget, ternyata yang berdiri di depan pintu itu adalah Adit, teman SMAku dulu. Kami pernah menjalin hubungan, bukan hanya sekedar jalinan  teman biasa saja. Kami pernah berpacaran lama, tapi putus karena aku lebih memilih Mas Bayu. Yang pada saat itu Mas Bayu sangat baik kepadaku. Sehingga aku luluh dan bertekuk lutut dipelukan Mas Bayu. Setelah itu, aku tak pernah melihat lagi Adit dan tak pernah pula berkomunikasi dengannya. Hanya untuk sekedar menanyakan kabar saja pun tak pernah.

Kami berdua sama-sama kikuk, salah tingkah, malu dan entahlah beribu-ribu perasaan yang muncul tiba-tiba di hatiku. Sulit aku gambarkan dengan apapun.

Punya Suami Serasa Tak Punya SuamiWhere stories live. Discover now