Bab 78 Bilar Ingin Adik Bayi

368 11 0
                                    

Di tengah keasyikan menyantap hidangan yang memanjakan lidah kami, tiba-tiba ponselku yang berada di dalam tas bergetar dan mengeluarkan bunyi penanda ada panggilan yang masuk.

Sejenak aku menghentikan aktivitasku, bertanya-tanya dalam hati siapa yang menelepon?.

"Sayang, angkat!" titahnya yang dia juga sejenak menghentikan aktivitas makannya.

"Iya, Mas." Kemudian aku pun meraih tas yang terletak di atas meja, lalu mengeluarkan ponselku. 

Terlihat di dalam layar hijau nama Ibu Diana muncul dalam ponselku.

"Siapa?" tanyanya dengan raut wajah penuh kepenasaran.

"Ibu, Mas," jawabku.

"Ibu yang mana?" Mas Bayu pun menyambar ponselku dari tanganku.

"Ibumu, Mas," sahutku kesal. Pasti jiwa posesifnya muncul kembali, mungkin tak percaya jika yang menelepon adalah Ibunya.

"Benar, kan?" imbuhku memastikan. Terlihat Mas Bayu pun tersenyum ke arahku, percaya dengan apa yang aku katakan. Kemudian dia pun mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo, Bu," ucap Mas Bayu sembari memandang ke arahku. Namun bukan sahutan dari ibunya Mas Bayu, melainkan tangisan anak kecil yang terdengar jelas dipanggilan tersebut. Mas Bayu pun sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya, karena suara tangisan tersebut sangat keras hingga memekikkan gendang telinganya.

Aku dan Mas Bayu pun sama-sama terperanjat kaget, demi mendengar tangisan anak kecil tersebut.

"Itu siapa, Mas?" tanyaku dengan raut wajah yang sedikit cemas.

"Entahlah." Mas Bayu mengangkat kedua bahunya. Kemudian mendekatkan kembali ponsel ke telinganya.

"Bu, Ibu." Mas Bayu berulang-ulang kali memanggil nama Ibunya, namun tetap saja tak ada sahutan dari Ibunya, yang terdengar hanya tangisan anak kecil. 

Mas Bayu terlihat kesal, kemudian dia mengembalikan kembali ponselku.

"Sayang kamu saja yang bicara." Mas Bayu pun melanjutkan kembali menyantap hidangan, yang kedua matanya tetap memperhatikanku.

"Sini! Coba dari tadi," ucapku sedikit ketus. Aku meneguk segelas air minum, membasahi tenggorokanku yang terasa kering. Setiap kali Mas Bayu bersikap posesif seperti itu, pasti akan adu mulut yang membuat tenggorokanku kehausan.

Kemudian aku mendekatkan ponsel di telingaku, dan mulai berucap.

"Hallo," ucapku dengan suara yang lembut.

"Ibuuu." Suara tangis itu pecah, dan aku hafal benar jika suara itu adalah suara Bilar.

"kenapa?" Rupanya Mas Bayu pun sama terkejutnya denganku, karena dia juga menyadari jika suara itu adalah suara Bilar. Lalu dia  menghentikan aktivitas makannya.

Spontan aku terkejut, dengan raut wajahku yang penuh dengan kekhawatiran. Aku menempelkan telunjuk ke bibirku, mengisyaratkan agar Mas Bayu tak mengeluarkan suaranya.

"Sayang kenapa?" Suaraku terdengar cemas. Aku mencoba meraih tangan Mas Bayu dan memegang erat, berharap kehangatan tangannya bisa memberikanku kekuatan. 

Mas Bayu pun membalas pegangan erat tanganku. Dia memasukan jari jemarinya di sela-sela jariku.

"Adek sakit. Ibu pulang!" Suaranya terdengar serak dan parau. Jelas menggambarkan jika Bilar tengah sakit.

"Iya, Nak, pulanglah! Entah kenapa tiba-tiba saja badan Bilar mendadak panas." Kini suara yang terdengar adalah suara Ibu Diana.

Seketika tubuhku terasa lemas, dada ini menjadi sesak. Hingga tak mampu mengeluarkan suara lagi. Ponselku pun terjatuh dari tanganku.

Punya Suami Serasa Tak Punya SuamiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ