Bab 43 Penyerahan Harta Hardinata 1

722 30 1
                                    

"Mungkinkah Adit yang  dimaksud Sii Mbok itu?" batinku bertanya-tanya sendiri.

"Mbok mungkin salah lihat, kan banyak orang yang mirip di dunia ini," ujarku pada si Mbok.

"Entahlah, Si Mbok hanya merasakan sesuatu yang berbeda saja di dalam diri teman Cah Ayu itu," terang si mbok.

Lama aku dan si Mbok ngobrol ngalor kidul, tak terasa hari sudah sore. Matahari pun sudah tampak bersembunyi lagi ke sela-sela awan yang mulai menghitam. Angin sore yang menuju malam semakin semilir, membuat seluruh sekujur tubuhku mulai terasa dingin. Aku mengatupkan kedua tanganku ke dadaku, menahan rasa dingin yang masuk ke seluruh sendi-sendi tubuhku. Rasa dingin ini sungguh terasa menggigit kulitku.

Si mbok tersenyum geli melihat akan keadaanku yang begitu kedinginan. Mulai terlihat dari warna bibirku yang mulai memucat. Sedangkan berbalik dengan keadaan si Mbok yang tampak biasa-biasa saja, seperti tak merasakan rasa dingin sedikitpun. 

"Ayo, Cah Ayu kita masuk saja ke dalam! Cah Ayu belum terbiasa dengan udara dingin pedesaan," ajak si Mbok dengan sisa kekuatan tenaganya di usia yang sudah tua itu. Perlahan dia bangkit dari duduknya dengan berpegangan ke ujung kursi.

"Mbok sepertinya tak merasa kedinginan?" tanyaku sambil bangkit dari duduk. Lalu aku membantu tubuh si Mbok untuk berdiri.

Aku memapah tubuh si Mbok yang berjalan pelan bersamaku, sembari tak melewatkan obrolan hangat yang mengalir begitu saja.

"Si Mbok ini sudah terbiasa hidup di desa," jawab si mbok yang mulai terdengar suara batuk-batuk kecilnya.

"Emmmm ... Mbok sudah lama kerja di Kakek Brata?" tanyaku ragu.

"Sejak dulu si Mbok sama Suami Mbok masih muda. Kami sudah kerja di sini, di keluarga Hardinata. Jadi si Mbok ini sudah lama kerja di sini." Sejenak si Mbok menghentikan langkah kakinya yang sudah tua, merasakan rasa lelah dalam tubuh rentanya itu. Ya, memang halaman rumah ini sangat luas, jadi tak heran bagi orang yang sudah tua seperti si Mbok akan tampak kelelahan, walaupun hanya sekedar mengitari halaman rumahnya saja.

Kemudian si Mbok melangkahkan kembali kakinya dengan pelan.

"Ooo ... jadi Mbok sudah mengabdikan diri kerja di sini." Aku manggut-manggut.

"Iya, Cah Ayu, keluarga Hardinata sangat banyak membantu keluarga si Mbok, jadi ini sebagai balas budi si Mbok kepada mereka," lirih si mbok pelan.

Sembari melangkah, aku mengusap lembut punggung si Mbok. Merasakan kehangatan dan keikhlasan yang tertanam dalam tubuh wanita yang sudah tua renta  ini.

"Sekarang hanya si Mbok sajakah yang bekerja di Kakek Brata?" 

Pertanyaanku membuat langkah pelan kaki si Mbok terhenti dan membalikkan tubuhnya berhadapan denganku.

"Tidak, Cah Ayu, yang bekerja di sini sangat banyak. Besok Cah Ayu akan melihat betapa banyaknya para karyawan juragan Brata. Dimulai para karyawan pemetik teh, kelapa sawit, sampai pabrik teh, mereka selalu meramaikan rumah juragan Brata. Keluarga Hardinata adalah orang yang terkaya di daerah Ngawi. Mereka adalah keluarga ningrat, jadi tak heran jika mereka adalah sumber mata pencaharian warga sini bahkan sampai ke daerah lain pun berbondong-bondong meminta pekerjaan ke keluarga Hardinata ini," terang si mbok dengan senyuman hangatnya yang kentara di balik wajah keriputnya itu. Kemudian si Mbok mengusap lembut wajahku, memberikan arti tersendiri bagi si Mbok.

Sedangkan aku terbengong-bengong mendengarkan penuturan si Mbok tersebut, demi mengetahui betapa ningratnya keluarga Hardinata.

Seketika pikiranku tertuju pada diri Mas Bayu. Sebegitu kayaknya keluarga Mas Bayu? Sampai-sampai kekayaannya juga menjadi incaran orang-orang yang berhati busuk seperti Bu Ratih, Ibu tirinya Mas Bayu itu.

Punya Suami Serasa Tak Punya SuamiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ