Bab 39 Menghindari Kecelakaan

356 20 0
                                    

Rasa khawatir mulai menghinggapi hatiku. Dadaku berdegup kencang, keringat dingin pun membanjiri sekujur tubuhku. Di mobil ini membawa banyak nyawa yang amat berharga dalam hidupku. Bagaimana jika sesuatu terjadi dalam perjalanan ini? Batinku mulai berpikir jelek. Tak henti-hentinya aku berdoa pada Sang Maha Kuasa untuk diberikan keselamatan dan perlindungan kepada kami semua yang berada di dalam mobil ini.

Rupanya Ibu juga sama khawatirnya dengan apa yang aku rasakan saat ini. Ibu memeluk erat tubuh kedua anakku. Sedangkan aku berusaha fokus pada arah jalanan di depan, membantu Adit memberi arahan apa yang seharusnya dilakukan untuk menghindari mobil truk yang ada di depan mobil Adit itu.

"Dit, kenapa mobil truk itu selalu menghalangi mobil kita?" tanyaku pada Adit yang sedang fokus menyetir.

"Entahlah, Ti." Adit menaikkan kedua bahunya ke atas, menandakan dia tahu apa-apa.

           Srettt ...

Tiba-tiba di samping kiri, tidak tahu mulanya bagaimana? Ada sebuah mobil sedan silver menyalip kasar mobil Adit. Sedangkan di arah depan ada sebuah mobil truk yang sejak tadi berjalan lambat. Sehingga menghalangi lajunya jalan mobil Adit. Seperti ada suatu kekompakkan agar mengepung mobil Adit ditengah-tengah. Secara spontan Adit membanting stir mobilnya menepi ke pinggir jalan. Untung tak ada mobil lain di samping kanan mobil Adit, jika saja ada mobil lain, kecelakaan pasti tak akan bisa dielakkan lagi.

           Cekittt ...

Adit mengerem kasar mobilnya. Alhasil, semua orang yang ada di mobil Adit terdorong ke depan dan membentur sesuatu yang ada di depan kami. Aku dan Adit yang lumayan merasakan nyeri di bagian kening, karena kepala kami membentur bagian keras mobil Adit yang ada di depan kami. Kebetulan aku duduk di depan bersebelahan dengan Adit. Sedangkan Ibu dan anak-anak hanya membentur bagian belakang kursi depan saja. Sehingga mereka tidak merasakan nyeri apa-apa, karena bagian belakang kursi depan sangatlah empuk, jadi tidak menyebabkan rasa nyeri apapun di tubuh Ibu dan kedua anakku. Hanya saja rasa kaget dan ketegangan yang amat luar biasa terlihat di raut wajah Ibu dan anak-anak.

Aku mengusap dadaku, lega tidak terjadi kecelakaan pada mobil yang kami tumpangi ini. Wajah Adit pucat pasi seperti tak berdarah. Dia mengusap keningnya yang pasti dirasa cukup lumayan terasa sakit. Dia menengok ke arahku dan menengok pula ke arah belakang, dimana Ibu dan kedua anakku duduk. Terlihat rasa bersalah dalam diri Adit.

Adit menghembuskan nafas kasarnya.

"Ti, sebaiknya kita hentikan dulu perjalanan ini! Aku takut terjadi apa-apa lagi, jika kita terus memaksakannya," ajak Adit kepadaku.

"Iya, Dit. Kita beristirahat dulu di restoran dekat sini saja. Sekalian aku akan memberitahu Mas Bayu agar sama-sama menghentikan dulu perjalanan ini," sahutku, yang kedua mataku menengok samping kanan dan kiri, mencari keberadaan mobil Mas Bayu yang rupanya sudah terlalu jauh dari jarak mobil Adit berada. Karena mobil truk tadi yang sempat menghalangi lajunya mobil Adit.

"Baiklah, kita sekarang cari restoran sekitar sini saja," balas Adit yang siap-siap melajukan kembali mobilnya.

Aku hanya menganggukkan kepala saja dan membetulkan kembali posisi dudukku. 

Adit mulai melajukan kembali mobilnya. 

Saat mobil sudah melaju, aku sempat melihat mobil sedan silver dan mobil truk tersebut yang rupanya ikut berhenti di pinggir jalan. Terbesit ada rasa heran dalam hatiku. Kenapa dua mobil itu ikut berhenti di pinggir jalan? Seperti disengaja mereka membuntuti mobil Adit? Tapi segera aku tepis rasa curiga itu, mungkin itu suatu kebetulan saja.

Dan sempat juga samar-samar aku melihat dari jendela kaca depan mobil Adit, si sopir mobil truk itu sama persis dengan sosok laki-laki yang dulu sempat akan membawa Bilar di pasar. Mulai ada rasa takut menyelinap dalam hatiku. Takut ini bukan hanya suatu kebetulan saja, tapi seperti sudah ada yang merencanakan sebelumnya.

Punya Suami Serasa Tak Punya SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang