Bab 13 Meminjam Uang

552 32 1
                                    

Sekarang aku sudah memulai usaha. Waktuku pun sangat padat, hampir semua terisi. Tapi itu tak membuatku anak-anak terbengkalai. Aku masih bisa memantau mereka.

Alhamdulillah usahaku berjalan dengan lancar. Banyak sekali peminatnya untuk belajar komputer di tempat ini. Sudah ada dua puluh orang yang telah mendaftar. Terdiri dari anak-anak sekolah dan orang dewasa yang lebih ingin memperdalam ilmu komputernya. 

Memang kalau dilihat dari segi pendaftar, jelas aku kekurangan komputer. Tapi aku menyiasatinya dengan pembagian waktu. Terserah si peserta kursus memilih waktunya sendiri tergantung dari jenis kesibukan masing-masing.

Di pagi hari buka dari jam delapan sampai jam 12 siang, terkecuali hari Sabtu dan Minggu hanya buka sampai dengan jam 10 siang saja, karena di waktu selanjutnya aku harus  mengajar komputer di tempatnya Pak Burhan, di mulai dari jam 10 sampai dengan jam 12 siang. Walaupun Ibu dan Kak Arman menyuruhku berhenti mengajar di sana, dengan alasan aku takut kecapean. Tapi aku bersikeras tetap akan melanjutkan mengajar di sana. 

Ya,  aku memang tampak seperti orang yang terlalu mengejar dunia, tapi selagi aku sehat dan mampu untuk melakukannya, kenapa tidak? Toh, aku mencari rezeki dengan jalan yang halal. 

Walaupun kerap kadang para tetanggaku membicarakanku, bahwa aku  ini serakah ingin meraup rezeki sebanyak-banyaknya. Bagaimana tidak para tetanggaku bilang seperti itu. Jelas di mata mereka aku ini seorang istri yang bergelimangan harta yang mempunyai suami berpenghasilan besar. Belum ditambah lagi aku mengajar privat di sana-sini dengan jumlah maksimum anak yang cukup banyak. Dan aku juga mengajar komputer di tempat Pak Burhan. Belum lagi sekarang aku membuka usaha tempat kursus komputer. Jadi wajar mereka memandangku seperti. Padahal kenyataannya tidaklah seperti itu. Aku hanya seorang istri yang mengais rezeki untuk melangsungkan kehidupan bersama kedua anakku. Selebihnya tidak ada peran nafkah penuh dari seorang suami.

"Eh, Bu Tiara, udah kaya juga masih tetap aja mau kerja. Ngapain sih capek-capek?" ucap Bu Ara, manakala waktu itu aku sedang berbelanja sayuran di warung Bu Dewi.

"Iya, Bu Tiara, ini serakah amat sih, semua pekerjaan diambil. Bagi-bagi dong rezekinya buat kita," timpal Bu Ratna yang sedang asyik mengacak-ngacak sayuran.

"Iya, Bu Tiara, kerjaannya mendingan dikasihin sama anak saya aja, belum kerja kasihan. Bu Tiara, kan sudah banyak duitnya, iya kan?" tanya Bu Ara seraya menoleh ke arahku. Yang memang aku sengaja berdiri agak berjauhan dari mereka. Tapi tetap saja aku jadi sorotan Ibu-Ibu.

"Eh ... kalian ini kalau mau beli sayuran, ya beli aja. Nggak usah pakai ngegibah segala!" kata Bu Dewi, yang mewakili dari jawabanku.

"Siapa yang ngegibah? Wong orangnya ada di sini, ya kan, Bu Tiara?" tanya Bu Ara dengan logat suaranya orang jawa kental.

"Iya, Suketi bukan ngegibah kalau kata mulut gendengmu itu," tukas Bu Dewi bercanda, seraya melemparkan sayuran ke arah wajah Bu Ara.

"Ehh ... Suketi enak aja. Ini Soraya alias Ara," balas Bu Ara sewot sambil menunjuk dirinya sendiri.

Semua orang terkekeh geli mendengarkan obrolan emak-emak kepo ini.

Aku hanya bisa tersenyum meringis mendengarkan obrolan mereka. Mereka tidak tahu  bagaimana perjalanan hidupku sebenarnya?

Ya,  aku aminkan saja semoga memang aku menjadi seorang istri yang bergelimangan harta.

"Amin ... Ibu-Ibu, semoga saya cepat kaya, ya," ucapku seraya mengatupkan kedua tanganku lalu mengusapkannya ke wajahku.

Selanjutnya di waktu siang dari jam 12 sampai jam 4 sore sengaja aku tutup dulu, karena aku harus mengajar jadwal anak privatku. Dan dibuka lagi dari jam 5 sampai jam 6 sore. Dilanjutkan lagi kelas malam. Biasanya orang-orang dewasa lebih memilih waktu di malam hari ini, karena waktunya yang pas sehabis mereka pulang bekerja mereka. 

Punya Suami Serasa Tak Punya SuamiWhere stories live. Discover now