Bab 4 Penekanan Kak Arman

896 47 0
                                    

Setelah itu Ibu dan Kak Arman beristirahat melepaskan rasa lelahnya, setelah seharian dalam perjalanan. Aku membuatkan minuman teh untuk mereka.

Mereka meneguk minuman secangkir teh dengan penuh nikmat, maklum mereka haus.

"Ibu sama Kakakmu istirahat dulu, ya, Tiara, capek," kata Ibu sambil pergi ke kamarnya. Tanpa disuruh pun Ibu langsung pergi ke kamarnya. Toh, ini juga kan rumah Ibu sendiri. Sedangkan Kak Arman beristirahat di kamar anak-anakku.

Kemudian aku pergi berbelanja ke warung terdekat untuk membeli bahan makanan yang aku butuhkan, dan anak-anak pergi bermain ke rumah sebelah. Sengaja aku suruh mereka bermain sebentar di luar, karena tak ingin mengganggu istirahat Ibu dan Kak Arman. Maklum lah bila mereka berdua bersama, selalu ada kata ribut dan berisik. Entahlah apa yang mereka ributkan?

Setelah aku cukup mendapatkan bahan-bahan yang aku perlukan. Aku mulai berkutat di dapur, dan lumayan cukup banyak aku akan memasak. Tak apalah sekali-kali aku menghidangkan makanan yang banyak, mereka juga nggak sering berkunjung ke sini. Ya, baru sekarang lagi Ibu dan Kak Arman berkunjung menemuiku dan anak -anak, setelah berbulan-bulan mereka tidak menemuiku. Jarak antara kotaku dan kota Istri Kak Arman lumayan cukup jauh memakan waktu sekitar seharian dalam perjalanan. Ibu dan Ayah dulu menempati rumah ini bersama aku, mas Bayu dan anak-anak, tapi setelah Ayah meninggal, Ibu diajak Kak Arman untuk ikut bersama dengan istrinya di sana, karena Kak Arman tahu aku tak mungkin bisa menghidupi Ibu dengan keadaan Mas Bayu yang bisa dibilang pelit dan perhitungan. Boro-boro untuk mampu menghidupi Ibu, aku juga Istri dan anak-anak seringkali ditelantarkannya. Mungkin itulah alasan kenapa kak Arman mengajak Ibu untuk ikut bersamanya. Dulu sewaktu Ayah masih ada, hidupku masih dibantu olehnya, tapi setelah Ayah meninggal tak ada lagi yang membantuku di sini. Ibu tak mau menjadi beban hidupku, maka dari itu Ibu putuskan untuk ikut bersama Kak Arman. Dengan rasa berat hati dan sedih aku merelakan Ibu untuk tinggal berjauhan denganku. Di kota ini sekarang aku merasa sendirian, tepatnya aku hanya seperti memiliki kedua anakku saja. Sedangkan mas Bayu dan keluarganya seperti orang asing bagiku.

Untungnya Istri kak Arman sangat baik hati dan sayang kepadaku dan kedua anakku. Kak Ayu namanya. Ya, seperti nama dan wajahnya yang ayu. Tutur katanya yang lembut dan sikapnya yang halus membuat aku tak segan-segan meminta bantuan kepadanya. Ya, dia memang keibuan cukup serasi bersanding dengan kak Arman yang baik dan sangat penyayang menurutku. Kak Ayu dan Kak Arman sering mengirimiku uang untuk menopang kehidupanku dan anak-anak. Meskipun seringkali aku kerap menolaknya. Mereka tahu kesulitanku, mereka juga tau sipat Mas Bayu seperti apa.

"Tiara, ikutlah bersama kami ke sana! Bawa anak-anakmu juga! Buat apa kamu pertahankan pernikahanmu dengan Bayu? Lihatlah hidupmu,Tiara! Disana Kakak bisa memantau hidup kalian, kamu juga bisa memulai hidup baru." Aku ingat kata-kata itu ketika aku menangis mengadu perihal sifat Mas Bayu yang sudah dibatas wajar, hidup selalu di bawah ketiak Ibunya.

Tapi entah aku selalu menolak permintaan kak Arman tersebut. Aku ingin sabar menunggu berubahnya sifat Mas Bayu. Waktu itu aku memang egois yang terlalu berharap lebih pada Mas Bayu. Ya, aku egois tidak sayang pada diriku sendiri. Ya, aku lemah.

Dua jam aku berada di dapur. Setelah selesai semuanya matang. Aku bangunkan Ibu dan kak Arman untuk makan. Anak-anak pun tanpa aku memanggilnya, mereka sudah berada di rumah.

"Bu, Kak, ayo kita makan dulu! Pasti lapar kan?" Pintaku pada mereka.

"Tiara, kenapa kamu masak sebanyak ini? Kamu punya uang darimana?" tanya Ibuku, karena tak percaya aku mempunyai uang untuk memasak makanan sebanyak ini.

"Ah ... Ibu gak apa-apa lah sesekali ini, Ibu dan Kak Arman kan jarang kesini. Sekarang Tiara sudah bekerja, Bu," jawabku, tidak mau membuat Ibu sedih berpikiran bahwa aku selalu kesulitan dalam masalah uang. Mataku terasa panas, kutahan buliran aliran mata ini agar tidak tumpah di pipiku. Aku tak mau Ibu melihatku menangis.

Punya Suami Serasa Tak Punya SuamiWhere stories live. Discover now