Bab 66 Persetujuan

421 20 1
                                    

Pada saat sore hari Mas Bayu dan Bilar terlihat pulang dari acara jalan-jalannya. Bilar tampak sumringah dan ceria, begitupun sama halnya dengan Mas Bayu yang sejenak melupakan segala kegundahan hatinya. 

Aku yang saat ini sedang menyiram bunga, langsung melihat kedatangan kedua orang, anak dan Ayah itu.

Kaki mungil Bilar langsung berlari menghambur ke arahku.

"Ibuuu," teriaknya yang kedua tangannya terentang lebar siap memeluk tubuhku.

Akupun segera menghentikan aktifitas. Kujongkokkan tubuhku demi menyambut tubuh mungil anakku yang hendak memelukku.

"Emmmwaahhh." Ciuman bertubi dikecupkan Bilar ke wajahku.

Demi mendapatkan perlakuan yang hangat dari anakku, jiwaku terasa menghangat seketika. Akupun membalas kecupan dari putra bungsuku. 

Mas Bayu juga perlahan melangkahkan kakinya ke arahku. Wajahnya terlihat malas menatapku dan sikapnya juga sedikit canggung.

"Dek, ayah masuk dulu, ya," ucapnya seraya mengecup kening bilar, tanpa menoleh ke arahku.

Sedangkan aku hanya mengikuti gerakan tatapan Mas Bayu saja, yang dominan hanya menatap Bilar saja.

Kemudian Mas Bayu melenggangkan kakinya, melangkah menuju ke arah dalam rumah. Aku menatap punggung Mas Bayu dari belakang, terlihat begitu cueknya dia kepadaku. Rasa kesalnya rupanya belum hilang dari hatinya. Tapi tiba-tiba langkah Mas Bayu berhenti di ambang pintu, karena ada Ibuku yang menyapanya. Terlihat Ibu dan Mas Bayu sedikit berbincang-bincang, entah apa yang mereka bicarakan. Tak lama setelah itu, terlihat Mas Bayu mengikuti langkah Ibu dari belakang menuju ke taman belakang.

Aku menarik nafas panjang. Ada sedikit rasa kepenasaran yang muncul dalam hatiku, was-was dan degup jantung yang berdegup kencang itu lah yang menyerangku saat ini. Bagaimana tidak? Akhir-akhir ini Mas Bayu bersikap dingin dan cuek kepadaku, dan sekarang harus berhadapan dengan Ibu. Dalam hatiku berharap semoga Ibu bisa mencairkan hati Mas Bayu lagi. Seingatku Ibu sudah mulai memikirkan hubungan yang baik untukku dan Mas Bayu.

"Ibu, kenapa bengong?" tanya Bilar yang membuyarkan lamunanku.

"Eh, nggak apa-apa, sayang." Aku nyengir kuda ke arah Bilar.

Aku pun cepat menggendong tubuh mungil anakku masuk ke dalam rumah. Di dalam gendonganku Bilar terus saja berceloteh akan keseruannya bersama ayahnya, Mas Bayu. Dengan gerakkan-gerakkan kecil tangannya, Bilar mempraktekkan apa yang telah dia lakukan disaat acara jalan-jalannya tadi.

"Bu, kenapa kita nggak tinggal lagi sama Ayah? Kan Adek bisa terus dekat sama Ayah. Bisa main bareng lagi, bisa main bola sama Ayah." Sungguh dengan dengan raut wajahnya yang polos dia mengutarakan segala keinginan hatinya kepadaku, dan aku sungguh tak kuasa menahan rasa sedih dan haru akan pertanyaan yang dilontarkan anakku Bilar.

Sejenak aku menghentikan langkahku, dan menatap lekat wajah polos anakku Bilar.

"Emmm ... emang Adek mau kita tinggal lagi sama Ayah?" tanyaku lirih, dengan kedua mataku yang berkaca-kaca.

"Iya, Bu," jawabnya, dengan gerakkan anggukkan kecil dari kepalanya. Bilar menenggelamkan wajahnya ke pundakku.

Aku membelai lembut rambut Bilar, diciumnya pucuk rambutnya penuh kehangatan. Memberikan kekuatan dan kepastian pada jiwa anakku. Aku pun mengetahui perasaan anakku yang menginginkan keutuhan kasih sayang dari orang tuanya. Mungkinkah mereka semenjak pertama kali aku dan Mas Bayu resmi bercerai hanya mengikuti alur kedua orang tuanya saja? Tanpa berani mereka mengungkapkan segala keinginan hatinya. Sungguh egoisnya keadaan kami saat itu, dan itu mungkin berawal dari keberhasilannya Ibu tirinya Mas Bayu yang telah mengendalikan kehidupan Mas Bayu.

Punya Suami Serasa Tak Punya SuamiWhere stories live. Discover now