Bab 35 Sebuah Firasat

494 25 1
                                    

Bayu dan Fajar pun berpamitan pergi kepada Romi. Nanti bilamana waktunya sudah pas, Bayu akan mengabari lagi Romi untuk segera melakukan penyelidikan ke Ngawi.

Dalam perjalanan pulang, pikiran Bayu selalu terarah kepada dua buah hatinya, Rizki dan Bilar. Keselamatan anak-anaknya ada ditangannya. Sungguh Bayu menyesali kebodohannya di masa dulu, yang mana dengan mudahnya bisa begitu saja dikendalikan oleh Bu Ratih, yang kebenarannya entah dia Ibu kandungnya atau bukan? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Hingga menyebabkan kehancuran pernikahannya. Kini jarak dan waktu telah memisahkan Bayu dengan kedua buah hatinya. Mengakibatkan keselamatan kedua anaknya tak bisa dia pantau selama 24 jam.

Sesudah mengantarkan Fajar kembali ke rumahnya, kemudian mobil Bayu melaju menuju ke rumah Tiara dulu. Bayu ingin memastikan keadaan dua buah hatinya lagi. Tak ingin ada sesuatu yang terjadi pada Rizki dan Bilar. Apalagi setelah mendengar penuturan Romi dan Fajar, bahwa keselamatan anak-anaknya ada sangkut pautnya dengan harta kekayaan Prawijaya. Yang jika ditelaah Rizki dan Bilar merupakan salah satu hak waris dari harta kekayaan Prawijaya.

          ***

         Prakkk ...

Tiba-tiba saja gelas yang aku pegang jatuh ke lantai. Pecahan-pecahan kaca berserakan di lantai. Tanpa ada penyebabnya gelas yang ada di tanganku bisa jatuh begitu saja, seperti ada suatu firasat yang memberitahuku.

Aku berdiri termangu menatap pecahan-pecahan gelas yang berada di bawah kakiku. Tanganku bergetar, ada rasa takut yang tiba-tiba menyelinap dalam hatiku. Entah apa itu? Sulit untuk bisa dijelaskan dalam sebuah kata-kata.

"Ibu kenapa?" Suara Bilar menyadarkanku dari rasa takut yang menyerangku secara tiba-tiba.

"Gelas yang Ibu pegang tiba-tiba jatuh, Dek." Aku menunjukan pecahan-pecahan gelas itu ke Bilar.

"Hahhh …." Bilar menutup mulutnya, mungkin dia terkejut melihat pecahan-pecahan gelas tersebut.

"Mungkin tangan Ibunya licin, Dek," jawabku yang tetap berdiri tak mau beranjak dari tempatku berdiri. Rasanya kaki ini berat untuk melangkah, masih terasa sisa-sisa dari rasa gemetarku.

Tanpa aku duga sebelumnya, Bilar yang berdiri di sampingku tiba-tiba berjongkok mendekati pecahan-pecahan gelas dan memungutnya.

Aku yang tak bisa menghentikan pergerakan tangan Bilar, mau tidak mau harus menyaksikan Bilar mengaduh kesakitan karena jarinya tertusuk dari pecahan gelas tersebut.

"Awwwww ... Bu sakit!" Bilar mengaduh kesakitan. Serta merta suara tangisnya terdengar jelas menggema di ruangan rumahku.

Terlihat darah segar mengucur dari jari Bilar. Tampaknya luka tusuk pecahan gelas itu cukup dalam.

Aku langsung meraih tubuh Bilar dan membungkus jari Bilar dengan ujung baju kemejaku. Alhasil, bajuku terlihat banyak noda darah yang menempel.

"Aduh, Dek, kenapa harus mungutin pecahan-pecahan gelas itu? Biar Ibu aja, Sayang, cup ... cup ... udah, ya, Sayang, jangan nangis!" Aku berusaha menangkan Bilar yang sesenggukkan menangis, tapi namanya juga anak kecil yang berusia tiga tahun tidak bisa dengan mudahnya begitu saja untuk menenangkannya. 

"Sakit, Bu." Tangis Bilar semakin kencang. Sesenggukkannya pun tak bisa dihentikan.

"Ibu ambilin plester dulu, ya, Dek. Tunggu di sini!" Aku berniat akan mengambil plester di dalam kamarku.

Tapi baru saja aku bangkit dari posisi jongkokku, tiba-tiba terdengar suara pintu depan dibuka dengan keras.

          Brakkk ...

Punya Suami Serasa Tak Punya SuamiWhere stories live. Discover now