Bab 87 Menikahlah Denganku!

443 12 0
                                    

Sementara itu Naira di kamar kos-kosan kecilnya, dia tampak merengut. Sehabis pulang dari perusahaan Adit, rasanya Naira enggan untuk melakukan aktivitas lagi. Pertengkarannya dengan Adit, membuat dia kehilangan rasa semangat untuk berjuang mencari pundi-pundi rupiah. 

Pendirian Naira mulai goyah, pikirannya pun dilanda kebimbangan. Bagaimana tidak? Awal pertemuannya dengan sang pemimpin, dia sudah berani bersikap kurang ajar, bagaimana selanjutnya dia menghadapi pembalasan sikap tuannya itu? Karena Naira meyakini pasti untuk hari-hari selanjutnya Adit akan menindasnya. Apakah Naira sanggup bertahan bekerja di perusahaan itu menghadapi bosnya yang galak seperti singa? Dan itu membuat otak Naira menjadi panas terbakar oleh rasa emosi dan cemas yang bercampur menjadi satu.

"Ah, sialan kenapa aku harus bertemu dengan cowok jutek itu?" Naira menghempaskan kasar tubuhnya dan menutup wajah dengan bantal lepeknya.

Dertt ... dertt ... ponselnya bergetar, dan itu membuat Naira membuka wajahnya. Naira menoleh ke samping, cepat meraih ponselnya yang tergeletak di samping tubuhnya. Nama sang adik, Naima muncul di layar hijaunya. 

"Ada apa Naima meneleponku? Perasaan baru satu minggu yang lalu aku telah mengiriminya uang," guman Naira lirih. Naira memegang dadanya, detak jantungnya berdegup kencang. Dia mulai merasakan perasaan yang tak enak, seperti ada sesuatu yang buruk, yang telah terjadi.

Naira menggeser layar hijaunya, dan terdengar lah suara Naima di ponselnya.

"Assalamualaikum, Kakak, I-Ibu sakit keras. Sekarang Ibu ada di rumah sakit. Penyakit Ibu kambuh lagi. Dokter menyarankan agar Ibu segera dioperasi, kalau tidak nyawa Ibu tak akan tertolong lagi. Bagaimana ini, Kak?" Suara Naima terdengar serak. Isak tangisnya begitu memilukan. Sementara Naira diam terpaku, dadanya terasa sesak, hingga dia kesulitan bernafas. Tenggorokkannya pun sakit, seperti ada sesuatu yang mencekatnya. 

"Kakak, Kakak, Apakah Kakak mendengarku?" Naima memanggilnya kembali, dan itu membuat Naira tersentak dan terbangun akan lamunannya yang mengembara kemana-mana.

"I-iya, Dek," jawab Naira gugup. Perasaannya kini sudah tak menentu lagi. Sedih, cemas, bingung seakan begitu menyerangnya secara bertubi-tubi.

"Kakak, aku takut Ibu ...?" Naima menggantungkan perkataannya. 

Terdengar Naima menangis tersedu-sedu, dan itu membuat hati Naira semakin kacau.

"Tenanglah, Dek! Secepatnya Kakak akan berusaha mencari uang untuk operasi Ibu. Tolong kamu jaga Ibu! Kakak belum bisa pulang sekarang, ya," ucap Naira yang berusaha menenangkan hati Adiknya.

"Iya, Kak. Keputusan Dokter ada di tangan Kakak. Hanya Kakak harapan Ibu untuk sembuh kembali." Kata-kata itu membuat hati Naira sedih dan nelangsa. 

Hidupnya yang sulit kini ditambah dengan penyakit Ibunya, yang mengharuskan dirinya mencari uang dengan jumlah yang sangat besar.

Panggilan pun terputus. Naira memejamkan kedua matanya. Bersamaan dengan itu otaknya berpikir, harus kemana dia mencari uang dalam jumlah yang sangat besar dan dalam waktu yang singkat pula? Tapi nihil dia tak menemukan jalan keluarnya.

Kabar dari Naima membuat dirinya semakin terhimpit. Rasanya untuk sekedar bernafas saja terasa sulit, saking sebegitu banyaknya beban hidup yang harus dia tanggung. Tak terasa air matanya mulai membasahi pipi putihnya. Meskipun dia berusaha untuk menahannya, tapi air mata itu menerobos memaksa untuk keluar.

"Aku tak boleh menyerah. Aku harus mencari uang yang banyak. Ibuku harus sembuh." Naira menyeka air matanya. Berusaha dia menekadkan dalam hati, jika dia mampu untuk melakukannya.

Hingga tak terasa perlahan kedua matanya tertutup, seiring dengan rasa lelah setelah lama dia menangis.

           ***

Punya Suami Serasa Tak Punya SuamiWhere stories live. Discover now