Bab 1 Uang 500 ribu

3.6K 84 1
                                    

"Ini uang 500 ribu harus cukup satu bulan!" Itulah kata Ibu Mertuaku. Aku hanya bisa terdiam, bukannya aku tak bisa bertindak, tapi aku sudah lelah dan membiarkan Ibu Mertuaku yang mengatur semuanya.

Namaku Tiara, usiaku 30 tahun. Aku menikah dengan Mas Bayu sudah 9 tahun lamanya dan sudah dikaruniai 2 orang anak laki-laki. Yang sulung berusia 6 tahun dan yang bungsu baru 3 tahun. Dari dulu keadaan rumah tanggaku sudah dirundung derita, tapi entahlah aku masih bertahan di sampingnya dengan alasan anak-anakku. Aku tak mau anakku dibesarkan dengan keadaan orang tua yang terpecah. Aku pikir Mas Bayu akan berubah, tapi sampai saat ini sifatnya masih belum berubah. 

Mas Bayu anak paling besar dengan dengan satu adik laki lakinya. Mas Bayu menjadi tulang punggung keluarganya. Ayah mertuaku sudah meninggal, dan tinggal lah Ibu Mertuaku sendirian di rumahnya. Adiknya yang bungsu pun sudah menikah dan mempunyai anak juga. Saat ini suamiku bekerja di luar negeri dengan penghasilan lumayan cukup besar, karena dia bekerja di kapal barang Negara Spanyol. Tapi entahlah walaupun gajinya cukup besar, tapi aku dan anak-anak tidak menikmati kehidupan yang layak. Entah apa yang ada di pikiran Mas Bayu semua gajinya ditransfer ke rekening Ibunya, dengan dalih ingin menabung di Ibunya agar kami bisa membeli rumah. Mungkin dengan alasan seperti itu aku bisa menerima semua perkataan Mas Bayu. Aku dijatah Mas Bayu hanya 1 juta dengan gajinya yang 10 juta. Berarti sisanya 9 juta dipegang atau ditabung Ibunya, entahlah, aku tidak tahu?

Bulan ini aku menanti kedatangan Ibu Mertuaku, karena aku sama sekali sudah tidak mempunyai uang lagi. Mana mungkin uang 1 juta cukup untuk sebulan.

Pagi ini derung motor terdengar di halaman rumahku, tepatnya bukan rumahku, tapi rumah milik Ibuku. Ternyata benar dugaanku, Ibu Mertuaku dan Adik Iparku yang datang. Tanpa basa basi lagi Ibu Mertuaku menyerahkan uang 500 ribu ke tanganku. Aku hanya bengong dan diam menerima uang jatahku berkurang.

Ibu Mertuaku bilang "Bulan ini, Ibu kasih untuk kamu dan anak-anak hanya 500 ribu saja, karena kasihan Adik kamu perlu bayar cicilan motor, dagangannya tidak laku, Ibu mau membantunya 1 juta." Nafasku tak beraturan mendengar penjelasan Ibu Mertuaku. Mana mungkin dia lebih mementingkan cicilan motor Adik Mas Bayu dari pada aku dan anak-anak yang lebih memprihatinkan hanya diberi uang 500 ribu untuk sebulan. Secara aku dan anak-anak lebih berhak atas gajinya Mas Bayu. Sudahlah aku tak mau berdebat lagi, aku capek seperti ini dari dulu. Berbicara pun hanya akan ada adu mulut yang berkepanjangan. Ya, aku seperti wanita bodoh yang hanya bisa diam diperlakukan seperti ini.

Ku lirik Adik Iparku yang celingak-celinguk tanpa tahu malu sedikit pun.

"Tiara, Ibu juga banyak pengeluaran harus memberi makan anak Istri Adik Mas Bayumu itu, tolong kamu mengerti, ya, Tiara!" Penuh harap Ibu Mertuaku memohon agar aku bisa mengerti. 

Dengan rasa jengkel di hati, aku hanya bisa cukup menjawab "Iya, Bu, semoga cukup untuk satu bulan, biarlah anak-anak tak bisa jajan, mungkin makan juga cukup dengan ikan asin saja, " sindirku kepada Ibu Mertuaku dan Adik Iparku. Tanpa ada rasa malu dan bersalah  mereka hanya ketawa- ketiwi, mungkin bagi mereka lucu,  aku berbicara seperti itu.

"Ya, kamu pandai-pandai mengatur uang lah dan dihemat juga agar cukup satu bulan." Waras atau tidak ini orang? batinku berbicara.

Mereka berdua pun pergi berlalu .

                      ***

Setelah kepergian Ibu Mertuaku dan Adik Iparku, pikiranku terus berputar bagaimana caranya aku bisa membagi uang 500 ribu untuk memenuhi kebutuhan hidupan sehari-hari? Apalagi si sulung sekarang sudah memasuki sekolah dasar dan banyak keperluan yang harus dibeli untuk keperluan masuk sekolah. Tega sekali Mas Bayu mempercayakan gajinya kepada Ibunya dan menjatah kami sedikit. Tak terasa sesak di dada, sungguh ini sakit sekali, kasihan anak- anakku. Tak kuasa butiran air mataku membasahi pipiku. Aku genggam uang 500 ribu di tanganku. Semua ini akan aku ingat dalam benakku yang paling dalam dan seumur hidup aku tak mungkin akan melupakannya.  Mataku sembab, tubuhku terguncang pelan karena isak tangisanku yang tak bisa ditahan.

"Bu, Ibu kenapa?" Guncangan tangan anak sulungku membuat aku terbangun dari tangisanku.

"Ibu tidak apa2, Nak." Aku mencoba menutupi kesedihanku.

"Ibu jangan bohong, Kakak tahu, kok, tadi Nenek sama Om datang ke sini. Mereka ngapain Ibu aja? Ibu sampai nangis kayak gini." Rupanya si sulung tahu bahwa Ibunya lagi menangis. Walaupun usianya baru 6 tahun, tapi pemikiran anakku sudah seperti orang dewasa. Mungkin asam manis kehidupan dan pemandangan pilu sudah dia saksikan semenjak dari dulu. Anak sulungku memang penurut, mandiri dan tidak menuntut meminta apapun dariku, layaknya anak-anak seusianya.

"Sini, Nak, Ibu mau bicara!" Aku mendekap anakku erat-erat.

"Iya, ada apa, Bu?"

"Kakak sayang kan sama, Ibu?" tanyaku lirih.

"Iya, Kakak sayang sama Ibu. Ibu jangan nangis. Ada apa, Bu?" tanyanya lirih pula.

"Kakak, tolong sabar ya! Mungkin Ibu, tak bisa memberikan apa yang Kakak mau untuk saat ini, bahkan kita makan pun jauh dari kata enak."

"Kok, Ayah gitu ya, Bu, sama kita. Ayah kan kerja di luar Negeri pasti gajinya besar?" Dengan polosnya si sulung menanyakan Ayahnya.

"Nggak tahu, Kak, Ibu juga nggak ngerti, mungkin ada kendala." Aku mencoba menutupi kejelekan Ayahnya.

"Nggak apa-apa, Bu, yang penting Kakak sama Adek selalu dekat sama Ibu." Anakku memeluk tubuhku dengan erat.  Dan aku tahu dia pun ikut menangis.

                     ****

Menjelang sore anak bungsuku merengek ingin dibelikan mainan yang cukup mahal, si bungsu melihat anak tetangga yang memamerkan mainannya.

"Ibu, Adek ingin beli mainan seperti mainan punya Ardi,"  rengeknya kepadaku.

Aku hanya berdiri terpaku mendengar rengekan anak bungsuku. Mana mungkin dengan uang yang hanya 500 ribu, aku bisa membelikan mainan untuk anakku yang harganya cukup mahal. Bagaimana nanti kalau dibelikan mainan?  Uang untuk makan tidak akan cukup. Ah, pusing sekali aku memikirkannya.

"Adek sayang maaf, ya, mainan itu cukup mahal, nanti saja, ya, belinya."  Aku mencoba memberikan pengertian sama si bungsu.

Ya, memang dasarnya anak usia 3 tahun susah untuk diberikan pengertian, yang  tidak seperti kakaknya yang sudah mengerti kesulitan Ibunya. Si bungsu bukannya mengerti malah dia menangis sejadi-jadinya, hingga aku pun bingung untuk menenangkannya.

Terdengar teriakan Ibunya Ardi, anak tetanggaku. Dengan gayanya yang khas orang kaya, dia berjalan sambil membusungkan dadanya, mendekat menghampiriku.

"Eh, Bu Tiara kenapa tuh Si Bilar nangis-nangis begitu?" Itulah si bungsu namanya Bilar.

"Nggak ada apa-apa, Bu, cuman ini Bilar mau mainan seperti punya Ardi," jawabku sendu.

"Eh, Bu Tiara beliin dong, cuman mainan doang, anak harus sampe nangis segala, ayahnya kan kerja ke luar negeri pasti banyak duitnya?" sahutnya sekenanya saja.

"Ah, Bilar kan sudah banyak mainannya,  Bu." Aku mencoba mencari-cari alasan untuk  menyembunyikan kesulitan hidupku.

"Alah, paling juga nggak punya duit kan? Itu kan duit nya dipegang mertua, ya? Kasihan banget Bu Tiara nasibnya," ejek Bu Ardi, membuat hatiku meringis sedih.

"Oh, iya maaf ya, Bu, saya mau menidurkan Bilar dulu." Aku berpura-pura pergi untuk menghindar dari ejekan Bu Ardi.

"Hah, paling juga malu, ya, punya nasib, kok, buruk banget?" gumamnya sambil menyunggingkan bibirnya ke kanan-ke kiri. Dan aku pun mendengarnya, meskipun nada suaranya pelan sekali. Aku mengelus dadaku berkali-kali, mengucap istighfar.

Aku segera beranjak  meninggalkan Bu Ardi sendirian. Tanpa memperdulikan tatapan sinisnya padaku.

Aku langsung meninabobokan si bungsu agar tertidur dan lupa akan keinginannya itu.

            Tring..

ponselku bergetar dan menyala,  ternyata ada status terbaru dari Istri Adik Iparku.

["Asyik ... sebentar lagi aku punya rumah, uh.. senangnya."] Itulah status terbarunya.

Aku berpikir dari mana Si Reno, Adik Mas Bayu itu punya uang untuk membeli rumah. Karena setahuku, tadi Ibu Mertuaku bilang usaha dagangnya lagi tidak laku dan anak Istrinya juga diberi makan sama dia. Atau kah? Jangan-jangan? 


Punya Suami Serasa Tak Punya SuamiWhere stories live. Discover now