Tiga Puluh Enam

Mulai dari awal
                                    

Menghela napas pelan agar emosinya sedikit reda, Winda membuang muka ke arah lain seolah enggan kontak mata dengan anak kandungnya. "Pergilah. Setiap saya mengingat atau melihat wajahmu, rasa benci saya terhadap ayah kandungmu semakin bertambah. Sekarang hiduplah bahagia dengan ayah tirimu itu."

"Apa maksud Bunda?" tanya Jevan menuntut penjelasan.

Wanita berpakaian mewah itu menggeleng tak percaya. "Belum sadar juga anak sialan ini bahwa Yudha bukan ayah kandungnya."

"Jadi–"

"Ya, Yudha adalah ayah tirimu. Dia hanya tahu bahwa kamu darah dagingnya. Namun, setelah semuanya terbongkar ayah kesayanganmu itu seperti orang gila." Winda terdiam seketika. Atensinya kini beralih pada sosok putranya yang sudah beranjak remaja. "Pergilah. Carilah kebahagiaan masing-masing. Jangan pernah kembali muncul di hadapan saya lagi. Perkataan tadi sudah cukup kuat untuk menjelaskan alasan saya pergi mencari kebahagiaan lain."

"Siapa?"

Kedua alis Winda menukik tajam saat pertanyaan itu terlontar. Suara Jevan tampak bergetar meskipun tertutup dengan wajah tenangnya. "Apa maksudmu?"

"Siapa ayah kandung Jevan?"

"Pergi, Jevandra. Jangan bertanya lebih lanjut." Tangan Winda terkepal di kedua sisi tubuhnya. Matanya memanas, siap meneteskan air mata. "Setelah ini, jangan pernah menampakan dirimu lagi. Saya sangat bahagia dengan kehidupan sekarang, jangan membuat suami saya atau siapapun curiga dengan kedatanganmu."

Tanpa menunggu balasan daei lawan bicaranya, Winda memilih masuk dan menutup pintu utama. Meninggalkan Jevan yang seakan kehilangan separuh jiwanya usai mendengar sebuah fakta. Pernyataan bundanya seperti sebuah mimpi bagi Jevan. Ia seperti seorang yang kehilangan arah saat ini. Niat awal hendak memberitahu sang bunda mengenai dirinya yang sempat dirawat selama beberapa bulan di rumah sakit, akan tetapi ia dikejutkan oleh sebuah fakta.

Jevan lemas seakan tak kuat menahan beban tubuhnya hingga bersandar pada pilar di teras rumah sang bunda. Terlalu tiba-tiba rasanya saat Winda memberitahu secara gamblang bahwa Yudha bukanlah ayang kandungnya. "Bagaimana ini bisa terjadi?" lirihnya.

Ingatan Jevan kembali berputar seperti kaset rusak. Runtutan semua kejadian di dalam rumahnya kembali berputar. Tangannya tergerak memukul kepalanya yang masih terbungkus perban. Ia menganggap dirinya bodoh karena tidak pernah berpikir jauh mengenai alasan Yudha membencinya. Semua teriakan, makian, hingga siksaan yang diberikan sang ayah seharusnya cukup jelas membuktikan bahwa ia bukanlah darah daging seorang pria bernama Yudha. 

"Ayah, saya butuh penjelasan ayah," gumamnya berjalan pelan meninggalkan teras rumah bundanya.

***

"LO BIARIN JEVAN PERGI SENDIRIAN?!"

Louren menutup kedua telinganya mendengar teriakan lebay dari kakak laki-laki tidak berguna di depannya. Ia heran bundanya ngidam apa hingga melahirkan anak berjenis kelamin laki-laki dengan mulut perempuan. Suara teriakan Liam mengalahkan ibu-ibu galak saat tidak mendapat kembalian setelah turun dari angkutan umum.

"Suara lo ngalahin bu Sesi," ujar Louren menuju dapur bersih.

"Bu Sesi saha?" tanya Liam mengikuti langkah sang adik.

Gadis itu membuka pintu kulkas. Menelisik satu persatu isi di dalam lemari pendingin itu sebelum pilihannya jatuh pada jus kemasan. "Tetangga depan yang sering tengkar sama lakinya gegara cemburuan akut."

"Jus gue, jamet!" seru Liam merampas jus yang hendak Louren minum. Ia menggeram pelan saat stok jusnya hanya tinggal satu.

"Pelit," ketus Louren. Ia memilih mendaratkan dirinya pada kursi di meja bar. "Jevan minta diantar ke kafe."

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang