Tiga Puluh Dua

Mulai dari awal
                                    

"T-terima kasih, Ayden," ucapnya gugup tanpa menatap mata tajam itu.

Setelahnya, Jevan hanya terdiam menatap lurus ke arah depan. Pikirannya tertarik kembali saat kejadian naas yang menimpa dirinya. Sangat sulit membayangkan bagaimana kondisinya saat terjatuh tepat di atap mobil milik salah satu tamu sekolah. Bukankah secara tidak langsung ia harus ganti rugi mobil yang harganya jauh dari kata murah.

Memikirkan itu saja membuat kepalanya berdenyut. Berbagi kegelisahannya kepada sang ayah adalah sebuah kemustahilan. Bahkan sejak dirinya pulang dari rumah sakit, sambutan atau pertanyaan mengenai keadaannya tidak terlontar sedikitpun dari ayahnya. Keinginannya saat sakit belum terkabul rupanya.

Jevan hanya dapat menghela nafas pelan saat bayangan wajah bundanya memenuhi pikiran. Ia merasa seakan menjadi manusia paling egois yang memikirkan keinginan dan kebahagiaan diri sendiri. Banyak keinginan dalam dirinya, akan tetapi ia kurang bersyukur dengan keadaannya sekarang. Kilasan dimana ia hampir menyerah dengan segala sesuatu yang terjadi berhasil memukul telak kesadarannya. Secara tidak langsung dirinya meragukan rencana Tuhan hingga ingin mengakhiri segala penderitanya.

"JEVAN!!!"

Teriakan Louren berhasil menarik Jevan dari bawah alam sadarnya. Kedua matanya mengerjap pelan saat Louren kembali memukul punggung tangannya. "Lo nggak kesambet, kan?"

"Ada apa Louren?" tanyanya pelan.

"Gue tinggal sebentar ke toilet, ya." Tanpa menunggu jawaban dari temannya, Louren ngacir terlebih dahulu keluar kelas meninggalkan Jevan yang tercengang di tempat. Haruskah gadis itu memberitahunya ingin pergi ke toilet? Benar-benar aneh.

Jevan kembali berkutik dengan buku latihan soalnya, menghiraukan berbagai tatapan yang teman sekelasnya berikan. Satu persatu murid masuk dan duduk di bangku masing-masing, tak terkecuali Gaven bersama para buntutnya.

Sedikit heran dengan situasi seperti ini. Bukankah Ozi dan yang lainnya sangat senang mengusik ketenangan Jevan? Ia bukan berharap untuk kembali dirisak, tetapi terasa sedikit aneh saja. Ah sudahlah, memikirkan hal tidak penting sangat membuang waktunya memecahkan soal matematika.

Bel tanda masuk mulai berbunyi bertepatan Louren yang sudah menyelesaikan urusannya di toilet. Selang beberapa menit, seorang wanita berpakaian rapi berjalan ke depan kelas. Menatap satu-persatu murid yang tengah bingung dengan kehadirannya.

"Selamat pagi, semua," sapanya diiringi senyum lebar. "Pasti kalian bingung siapa saya, bukan?"

"Cukup panggil saya bu Rana. Saya guru baru yang akan menggantikan tugas pak Omar untuk beberapa bulan kedepan," terangnya. "Ada yang ingin ditanyakan?"

Seorang siswi paling depan mengacungkan tangannya. "Jika boleh tahu pak Omar kemana?"

"Beliau tengah melakukan tugas sekolah di luar kota," jawab bu Rana singkat. "Saya absen sekarang."

"Singkat amat perkenalannya, Bu," celetuk Daniel. "Sudah ada suami, belum?"

Celetukan itu berhasil membuat sebagian murid menyoraki Daniel. Sementara itu, bu Rana hanya tertawa pelan. "Saya sudah memiliki suami."

"Nomor telepon dong, Bu," celetuk Ettan.

"Jiwa playboy Daniel nular ke lo?" tanya Ozi.

"Ngeri, doyan istri orang," timpal Gaven.

Ettan tersenyum congkak. "Istri orang lebih menggoda."

"Bercanda, Bu," imbuhnya tersenyum lebar ke arah wanita yang tengah berdiri di depan.

Tanpa menyahuti perkataan Ettan, wanita dengan rambut cepol itu mulai menuliskan deretan angka di papan tulis. "Kalian bisa menghubungi saya jika ingin konseling, ada yang ditanyakan lagi sebelum saya absen?"

JevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang