Tiga Puluh Satu

Beginne am Anfang
                                    

Mendengar itu, Litha sontak berlagak seakan ingin muntah. "Mual gue dengarnya. Udah deh, hal penting apa yang mau lo bicarakan sampai harus bertemu?"

"Jujur sama gue, teror yang gue dapat selama ini dari lo?"

"Teror? Gue? Maksud lo apa? Lo nuduh gue sebagai pelakunya?" sungut Litha. "Nggak guna gue neror manusia macam lo."

"Lo yang nyebarin semua kelakuan gue di mading sekolah?"

Kening Litha mengernyit. "Berita tentang hamilnya salah satu siswi SMA sebelah karena korban pemerkosaan dan ternyata lo pelakunya?" tanyanya memastikan.

Anggukan kepala dari temannya membuat gadis bersurai panjang itu mendelik. "Atas dasar apa lo nuduh gue? Ada bukti?"

"Pertama, lo bersembunyi nggak jauh dari gue berdiri saat mendapatkan teror. Kedua, raut wajah lo terlihat bahagia saat gue mendapat rumor menghamili salah satu siswi SMA Merdeka. Terakhir, tulisan tangan peneror mirip seperti tulisan tangan lo," terangnya.

Litha menegakkan badannya saat kalimat yang terlontar dari temannya sangat di luar nalar. "Lo–"

Perkataannya terpotong tatkala seorang pelayanan masuk membawa troli berisi pesanan Daniel sekaligus beberapa makanan ringan. "Silahkan dinikmati," ujarnya meletakkan semua yang berada di troli ke atas meja lantas berjalan meninggalkan ruangan setelah membungkukkan badannya.

"Minum dulu biar lo nggak emosi," titahnya.

Tangan Litha meraih segelas jus dengan kasar seraya menatap sinis teman lelaki yang tampak santai menuangkan vodka ke dalam gelas. Ia meneguk jusnya hingga setengah dan kembali menyimpan di atas meja. "Gue nggak pernah neror lo dalam bentuk apapun."

"Alasan kenapa gue terlihat senang dengan rumor yang menimpa lo, itu semua karena bahagia orang di sekitar gue menderita. Sampai sini paham?" Litha sengaja menekankan setiap kata yang terucap.

Daniel termenung. Seharusnya ia sadar sejak awal. Temannya itu bukan tipikal orang  yang suka meneror sebagai ajang untuk balas dendam. Ciri khas dari seorang Litha ialah blak-blakan apabila tidak menyukai seseorang, baik dari segi apapun. Lalu siapa yang neror gue selama tiga bulan terakhir?

"Nggak hanya lo yang mendapat teror sampah itu, gue juga sama."

Mimik wajah lelaki itu berubah dalam hitungan detik. "Lo juga dapat teror itu? Dimanapun lo berada?"

Mengangguk pelan seraya menatap langit-langit berusaha mengingat kapan terakhir kalinya ia mendapatkan teror yang sangat mengganggu ketenangannya. "Pertama dan terakhir kali gue dapat teror itu dua bulan yang lalu di toilet sekolah."

"Sepertinya sengaja ditulis menggunakan darah sebagai peringatan untuk gue. 'Perbuatanmu dimasa lalu akan mulai menujukkan akibatnya, bersiaplah!!!sepertinya itu yang gue ingat," ujar Litha menerka-nerka.

***

Kedua tangan Jevan saling meremat. Kepalanya tertunduk saat pertanyaan demi pertanyaan yang ditujukan padanya. Sungguh, demi apapun ia belum siap menjawab apapun. Seperti ada sesuatu yang menahan dirinya untuk tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

Perkataan Vinja benar adanya. Sang suami  datang membawa orang kepercayaannya tepat jam makan siang kantor. Tidak tanggung-tanggung, Rama membawa lebih dari 10 orang hanya untuk menginterogasi Jevan. Belum lagi pengawal yang turut ikut dan menjaga di pintu masuk ruang inap, rasanya sesak bila melihat banyak orang di sekitar.

JevandraWo Geschichten leben. Entdecke jetzt