14. Kambing

19 4 0
                                    

Seminggu berlalu, Nata lega melihat dahinya Liana nampak normal lagi. Di kelas, Nata menggerakan telunjuk, menyuruh Liana ke depan, menagih hafalan Al Kahfi yang tertunda lama. Liana berjalan dengan santai, ia sudah menyiapkan diri jauh jauh hari, berupaya penuh menghafal agar hukumannya segera berakhir. Liana berdiri di depan papan tulis, gugup dan takut menjadi bercampur menjadi satu.

"Baca surah Al Kahfi," titah Nata.

"Al-hamdu lillaahillaziii angzala 'alaa 'abdihil-kitaaba wa lam yaj'al lahuu 'iwajaa."

Ayat demi ayat Liana bacakan dengan mata tertutup, Liana tak ingin membuka mata karena ia tau, Harun pasti meledeknya dari belakang. Usai tuntas membaca Al Kahfi, Nata mengangguk lantas membuka buku nilai. Melihat Nata menulis sesuatu, bukannya kembali ke tempat, ia lebih tertarik menanyai Nata.

"Ngapain, Ustadz?"

"Masukin nilai kamu," jawabnya santai.

"Hah, nilai saya kenapa, Ustadz?"

Nata mengusap wajahnya gusar, "Nilai kamu ngga kenapa napa, cuma saya tambahin aja."

Ia masih bingung, "Saya dihukum dapet nilai tambahan, nih?"

"Tambahan karena kamu ngafalin Al Kahfi sepuluh ayat."

"Kalau gitu saya mau sering dihukum aja deh, Ustadz."

Kedua alis Nata menukik ke bawah, "Kok gitu?"

"Biar nilai saya tambah terus "

Liana kembali ke belakang, menduduki bangku lantas melipat kedua tangan di atas meja, tersenyum senyum sendiri penuh arti. Harun dan Haura heran, mengapa mimik wajah Liana memancarkan aura penuh cinta. Harun dan Haura kembali menatap ke arah Nata, lelaki itu, memijat pelipisnya pusing.

Nata mulai beranjak dari meja, dengan segera jemarinya mengambil spidol yang biasanya terletak di meja. Namun anehnya, spidol itu tak ada. Nata kebingungan, perasaan ada disini deh. Nata berfikir sejenak, ia menatap ke arah Liana, gadis itu tengah menopangkan dagu di kedua tangannya dengan mata setengah tertutup.

"Liana?" Panggil Nata. Membuat semua mata tertuju padanya.

Liana tak menggubris. Haura menggoyangkan lengan Liana, membuat Liana terkejut ketika Nata sudah berdiri di depan matanya.

Dengan suara khas bangun tidur, ia menyapa, "Ustadz?"

"Bangun, sana ke toilet!"

"Ngapain Ustadz? Saya ngga kepengen pipis."

"Nggak paham paham ni anak," erang Nata, "cuci muka biar nggak ngantuk lagi. Paham?"

"Bilang dari tadi dong, Ustadz." Liana beranjak menuju toilet. Sedangkan Nata memeriksa di bawah meja Liana, ternyata feelingnya benar, semua spidol ada di bawah meja. Gadis itu, selalu mencari ulah.

Seperti biasa, Liana melakukan hal itu lagi, hampir setiap hari memalingkan sepasang sendal Nata ke arah depan tanpa lelaki itu tau. Liana ikut bergumul antara Harun dan Haura yang membahas masalah hafalan. Menyamakan langkah, langkah mereka tampak sempurna bagai pengibar bendera.

"Eh, keponakan gue nanti aqiqahan, besok lo bedua dateng, ya?" Ajak Liana

"Widihh, sapi apa kambing?" tanya Harun.

"Onta."

Harun mengerjab, "Serius lo!?" Liana tak percaya Harun langsung menelan perkataannya.

"Ya engga lah, kambing katanya, sodara lo." Ucapan Liana barusan membuat Harun geram, ingin menenggelamkannya ke sungai saja.

"Aku sama Harun aja nih yang di undang? Ustadz Nata gimana?" sela Haura.

"Kayanya engga deh. Lagian Ustadz Nata pasti sibuk, ngga bakal bisa dateng ke acara kayanya."

Anata!Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon