15. Sadar

15 5 0
                                    

Liana menatap dirinya sangat cantik di pantulan cermin. Gamis ala Malaysia warna rose taupe itu melekat di badan, beserta hijab instan dengan warna yang senada. Ia mempoles sedikit lipcream di bibir, agar tak terlalu kering. Kulitnya kuning langsat sangat cocok dipadu dengan gamis warna gelap.

Kenop pintu terbuka, Liana membuat semua mata terpukau tertuju padanya, ia mengembangkan senyuman. "MasyaAllah cantiknyaa," puji salah satu dari mereka.

Kedua netra cantik Liana mendeteksi keberadaan Nata dan Adrian tengah duduk bersampingan. Tidak ketinggalan, mereka berdua juga melongo melihat Liana saking cantik dan anggunnya. Slay.

Padahal mau persiapan acara aqiqah, tapi Liana merasa seperti acara lamaran. Ia menepuk pipinya pelan, tidak mungkin. Ia berusaha menghindari pikiran yang berkecamuk, melihat Adrian dan Nata berbisik-bisik seraya menatapnya, membuat Liana sedikit malu dan ingin jungkir balik saja.

Beberapa jam berlalu, Harun dan Haura datang bersamaan. Harun membawa sepeda motor, sedangkan Haura datang dengan sepeda listrik. Mereka langsung berpencar, Harun ke tempat laki laki, Haura ke tempat perempuan. Baru saja Haura ingin mendaratkan bokong, Liana keburu menarik lengannya duluan.

Liana memelankan suara, "Lo ngapain duduk di bagian Ibu Ibu, sini ikut gua!"

Jeda sedikit, Haura mengerjab melihat Liana dengan penampilan berbeda, bisa bisanya hari ini Liana secantik itu. Haura terkagum kagum sampai Liana mengajaknya bicara pun ia tak menjawab.

Liana mengibaskan tangan di depan wajah Haura, "Heh, lo ngeri banget liatin gue kaya gitu."

"Cantik banget kamu MasyaAllah." Haura berucap.

"Apaan sih lo muji muji gue, biasa aja kali," Liana mengalihkan pandangan serta mengulum bibirnya, "betewe, lo udah makan?"

Haura tertawa kecil, "Udah, cuman mau makan lagi."

"Pas banget, ini makanannya." Liana menunjuk dengan dagu makanan yang ia maksud. Haura terkejut ketika kue pencuci mulut sudah tertata rapi di hadapannya.

Haura mengerutkan dahi, "Kenapa banyak banget kuenya?"

Liana cengengesan ketika ditanya, awalnya ia memang niatan ingin duduk di bagian pencuci mulut, di bagian makanan manis tersaji rapi. Diam diam Liana mengambil satu potongan brownies kecil untuk siap dilahap, Haura langsung menampar tangan Liana hingga kue coklat itu jatuh ke lipatan kaki yang terbalut gamis. Liana langsung memakan tanpa rasa bersalah dengan wajah datar menatap Haura.

♡♡♡

Usai acara, Liana melarikan diri dari perkumpulan keluarga, ia memilih duduk agak jauhan diluar rumah, berdua dengan Haura. Tidak lupa dengan potongan brownies ia curi dan dibuat ke dalam kantong plastik. Kalau ia duduk bergumul dengan para keluarga, pasti ditanya kapan nikah, lebih baik ia menghilang.

"Suka banget ya kue brownies?"

"Emang ada manusia yang nggak suka kue terenak sejagad raya ini?"

"Aku."

Liana berkacak pinggang sebelah, mengapa ada orang yang tidak suka kue brownies. Apa mereka tidak sadar atau lidah mereka alergi? Brownies yang selezat dan senikmat itu. "Kenapa nggak suka?"

"Manis banget, bikin eneg."

Liana menunjuk ke brownies, "Ini tuh, enaaaaaakkk banget."

"Apa yang enak?" tanya seorang lelaki mendekat, rupanya itu Harun. Ia datang duduk menengahi mereka.

Haura menunjuk dengan dagu, "Kue brownies, Liana suka banget."

"Ew, gue nggak terlalu suka sama yang manis manis." Harun menggeleng tidak suka.

Liana sedikit geram, "Pas banget, kalian jodoh." Haura dan Harun langsung saling lempar pandang.

Dari kejauhan melihat mereka bertiga mengobrol, Nata juga mengobrol dengan lelaki paruh baya yang bernama Adrian. Sambil menyeruput secangkir kopi panas, duduk santai di teras.

Adrian membuka suara, "Gimana anak saya kalau di kelas, Ustadz?"

"Anak Bapak suka iseng sama saya. Tapi kalau masalah menghafal, lumayan." Lebih baik Nata jujur daripada ia bersandiwara mengatakan kalau sikap Liana baik. Jika yang dibawa bercakap si Adrian, tentu ia tau sifat asli anak gadisnya.

"Anakku itu, kadang nggak sesuai, hati sama mulut. Mulutnya bilang enggak, padahal dalam hati mah iya."

"Anak saya itu suka jahil, tapi dia perhatian walo seuprit. Cuman diam diam aja, ada hal kecil yang dia suka, dia bakal lakuin biar hati orang senang."

"Contohnya apa, Pak?"

Terbitlah senyuman di bibir Adrian, "Liana setiap pagi, setiap saya mau berangkat kerja, dia selalu bersihkan sepatu saya, orangnya memang nggak banyak omong, tapi ya itu, dia perhatian."

"Kalau saya pulang, sendal yang berantakan di depan rumah dia rapihkan. Di tata rapi, di balik ke arah depan supaya langsung siap pakai."

Nata menoleh ke arah Harun, Haura, serta anak gadis yang memakai baju rose taupe itu, jadi selama ini, yang suka memalingkan sendalnya itu, Liana. Kedua tangan Nata menyatu, lalu menutup mata saking tidak ia menyadari perlakuan kecil itu, Liana yang melakukannya setiap hari.

Padahal Nata sering sekali mengomeli hingga naik darah, gadis itu tetap tidak berhenti melakukan hal tidak penting. Kepalanya bagai dihantam, mengapa ia mengira bahwa yang melakukan hal semua itu Ustadzah Indah? Ralat. Tidak mungkin kan Ustazah Indah ada setiap hari di sekolah tahfiz, wong dia juga anak kuliahan. Nggak setiap hari mengajar anak anak.

Nata menghela nafas, "Anak Bapak baik. Betul apa yang dibilang Bapak barusan, anaknya perhatian."

Adrian mengacungkan jempol, "Nah itu, bagus!"

Nata menghela nafas, ia ingin meluapkan segala beban di kedua pundaknya dengan bercerita, "Boleh saya sedikit minta saran dari Bapak?"

"Boleh boleh, cerita aja."

"Saya suka sama salah satu Ustazah di sekolah tahfiz. Dia anggun, sholehah, tutur kata baik paket lengkap masyaAllah. Tapi yang bikin saya bingung mau ngelamar dia, saya pernah dengar isu, nggak tau bener apa engga. Dia nungguin teman saya Jefri, yang lagi studi ke Tarim, karena memang dia sama si Jefri ini sama sama suka. Tapi sikap dia ke saya sangat menggambarkan kalau dia menyukai saya, dia mencintai saya."

Adrian menggeleng, "Dia nggak mencintai Ustadz, ataupun menyukai Ustadz. Dia cuma ramah, sikapnya sama ke semua orang. Menurut saya, dia masih bingung, memilih antara Jefri atau Ustadz sendiri."

Nata menggigit bibirnya, jadi, jerih payah selama ini meluluhkan hati wanita itu, diterima hanya karena dia ramah pada semua orang? Apa Ustazah Indah sedikitpun tidak sadar kalau semua bentuk usahanya itu tujuannya memang membuat Indah menyukai balik? Sudahlah, Nata terlalu bereskspektasi tinggi, menaruh harap pada orang yang hatinya juga berharap pada orang lain.

"Kalau Liana, apa boleh?"

Pertanyaan Nata menimbulkan sedikit kode maut dari Adrian, "Boleh apa?"

"Berniat taaruf dengan Liana."

Senyuman Adrian terbit, akhirnya. "Kamu mau berniat taaruf dengan anak saya?"

Nata menampilkan sederet gigi putihnya, "Iya, saya mau minta izin untuk mengenal putri Bapak lebih dalam."

Adrian menggigit bibir bawah, ia bingung bagaimana caranya menutup hal yang sangat luar biasa ini. "Saya sangat mengizinkan. Sebagai Abah, saya membutuhkan sosok lelaki yang bisa memimpin Liana."

"Tapi, apa boleh saya meminta satu hal?"

Dengan senang hati Adrian mengiyakan, "Boleh, apa, Nak? Tapi tunggu sebentar ya."

"Nak!" Panggil Adrian melambai tangan pada sang anak. Liana spontan mendatangi Abahnya sembari mengemil brownies.

"Ada apa, Bah?" Tanyanya tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun, takut menatap Nata.

"Ambilin dua box makanan dong, laper." Adrian mengusap perut yang sedari tadi hanya diisi kopi.





Anata!Where stories live. Discover now