11. Sepatu

20 6 0
                                    

Sesudah sholat magrib, sembari berjalan Liana mengobrol dengan Haura, teman sekelas. Sore berganti malam, angin dingin mulai menerpa wajah mulus Liana, memasuki rongga-rongga pernapasannya. Liana masuk ke dalam kelas bersama Haura, lantas ia duduk di bangku, kepala langsung menyatu dengan meja.

Baru saja Liana memejamkan mata, "Lo ngapain di sini?" tanya Harun, ia berdiri tepat di depan meja Liana. Liana tak menggubris, ia tengah malas berdebat.

"Lo mau kena semprot Ustadz Nata lagi?" Lagi lagi Harun menakuti. Liana memaksa diri untuk bangkit, tangannya meraih al Qur'an kecil di atas meja dan berjalan melewati Harun dengan wajah datar.

Harun tak suka jika tak digubris, "Liana, lo denger gua ngga sih?"

"IYA IYAAA CEREWET BANGET CONGOR MARMUT!"

Liana memalingkan wajah, berjalan keluar kelas. Ia duduk di kursi panjang sambil bersila. Matanya fokus mengarah tulisan arab yang ia hafalkan. Berkali kali Liana menggosok kedua tangan, ia kedinginan, berada di luar membuatnya tersiksa. Nata melewati Liana yang wajahnya ditutupi al Qur'an. Ketika di ambang pintu, Nata mengucapkan salam, lalu melirik ke Liana, gadis itu sangat fokus menghafal.

Mata Liana terpejam, namun mulut masih terus menghafal. Ia tersentak lantaran ada yang melempar sesuatu mengenai badannya. Ia kira apa, ternyata sarung. Tanpa berlama lama ia langsung memakai sarung itu menutupi seluruh badan. Ia tak sadar, padahal Nata yang melempar sarung itu, Liana juga tak sadar, Nata memperhatikannya di sisi pintu.

Santri satu ini, Nata membatin, agak laen.

♡♡♡

Seisi kelas bersorak gembira mendengar guru pengajar tidak hadir hari itu. Seharusnya Liana senang, tapi hari itu tidak. Ia harus menghafal lagi sambungan surah al kahfi. Naira merasa khawatir dengan Liana, keadaan wajahnya macam tak terurus. Ia berkantung mata, bibir pucat dan terlihat seperti kurang tidur. Sesekali ia memalingkan wajah ke arah Liana yang tengah fokus menghafal di pojok kelas.

Perlahan membuka mata, ia mendesir ingin buang air kecil. Berjalan gontai, tangannya menyentuh pundak Naira agar menemaninya ke toilet. "Nai, temenin gue ke wc."

Tanpa tolakan, Naira langsung mengiyakan. Ia berjalan menggandeng tangan Liana, tangan begitu lemah, seperti tidak ada energi sedikitpun. Karena Liana tipikal gadis yang ceria, sekali Liana murung Naira merasa aneh. Biasanya Liana yang paling banyak bicara.

Naira dan Liana terdiam di depan rak sepatu. Sepasang sepatu Naira masih rapi di tempat, tetapi sepatu Liana? Sepasang sepatu itu hilang bak ditelan bumi.

"Sepatu gue mana?" tanya Liana. Naira menggeleng tak tahu, tangannya sibuk mencari sepasang sepatu Liana.

Liana benar benar tak ada tenaga sekarang, ia memilih nyeker dengan kaos kaki daripada mencari sepatu.

"Yaudah, Nai. Ke wc aja dulu, sepatu gue gampang."

Jalan nyeker melewati kelas lain, Liana hanya bisa melempar senyum hambar. Entah kemana sepatunya itu, ia tak tau, ia hanya berfikir, mungkin lupa menaruh di rak sepatu. Sesampainya di toilet, Liana mendaratkan bokong pada kursi, lalu melepaskan kedua kaos kakinya kemudian berjalan masuk wc.

Naira bolak balik gelisah, ia malah memikirkan lelaki itu, Gean Alvaro, si pengganggu Liana. Selang beberapa menit Liana kelar, kembali memasang kedua kaos kaki. Naira langsung menggandeng tangan Liana, takut temannya itu kenapa napa, pasalnya Liana sama sekali tidak memikirkan sepasang sepatu miliknya.

Liana melihat dari jauh, matanya menyipit ke arah parkiran, tongkrongan Gean dan teman temannya. Ia melihat sepasang sepatu digantung di tiang parkiran. Liana tahu betul, itu sepatunya. Ia tak bicara apa apa, hanya melanjutkan kembali ke kelas.

Anata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang