35. Healing

8 3 0
                                    

Beberapa hari setelah menikah, Nata mendapat cuti satu pekan. Habis sholat ashar ia segera mandi, rencananya mau jalan jalan ke taman pakai sepeda.  Sebelum mandi, ia bertanya dulu kepada istrinya.

"Mandi, nggak?"

Sambil memakan cemilan, Liana menggeleng, "Enggak."

Memang, istrinya sangat susah disuruh mandi, apalagi mandi berdua, bisa bisa ia keluar rumah tak balik balik. Nata mengalungkan handuk di leher, "Yang bener nggak mau mandi? Kalau mandi dapet hadiah."

Liana terlonjak, "Hadiah apa?"

"Mandi bareng sama aku," ucap Nata disertai kekehan. Seketika bantal sofa mendarat menghantam wajahnya, Nata langsung mengubah ekspresi menjadi datar.

Singkat waktu, ketika Nata sudah siap keluar rumah, ia berputar mengecek kalau kalau ada salah dari penampilannya, maklum, mau pamer ke orang udah punya istri, nggak jomblo lagi. Celana training hitam dan kaos lengan pendek warna putih dipadukan dengan sepatu putih bersih senada. Ah, Nata menjawil hidungnya sendiri merasa paling tampan.

Menyusul istrinya di pekarangan rumah, Liana tengah memandangi kolam ikan di samping rumah. Nata menghela nafas, padahal ia sudah berpesan sebelum masuk kamar untuk mengambil sepeda di bagasi, bukannya mengambil sepeda malah merenung di depan kolam ikan.

"Sayang.." Nata memanggil, seketika wanita itu memalingkan wajah. Ia terkagum kagum melihat ketampanan suaminya hari ini.

Liana berusaha menghilangkan rasa terpesonanya, ia segera mendekat dan mencium aroma tubuh Nata. Matanya menyipit lantas ia melipat tangan di depan dada.

"Kakak makai parfum yah?"

Nata mengambil tangan Liana, menggenggam erat tangan mungil istrinya, "Iyah, kenapa? Wangi banget ya suami kamu?"

"Wangi sih wangi, tapi aku nggak mau cewe lain ngelirik Kakak cuma gara gara Kakak sewangi ini," sungut Liana melepaskan tangan dari genggaman Nata.

"Udah ganteng, tinggi, wangi lagi. Duh ngerepotin perasaan aja."

Nata nyengir lebar, tidak menyangka Liana memujinya sampai seperti itu, karena Liana gengsinya bukan main, level gengsi sudah diatas tingkat rata rata. Dipuji begitu oleh sang istri tentu membuat Nata ingin pingsan.

Nata memegang dadanya, "Kalau muji jangan gitu dong, jantung Kaka jedag jedug nih, nanti suami mu pingsan loh, mau berangkat juga."

"Punya suami dikit dikit meleyot." Liana memutar bola mata menghindari kontak mata, padahal ia juga menahan salah tingkah.

Mengambil sepeda di bagasi, Liana mengecek apakah sepeda lipat dari jaman Majapahit itu masih bagus untuk di pakai. Liana menolak di belikan sepeda, andai Liana mengiyakan, sudah pasti Nata membelikannya sepeda lipat paling mahal, apalah daya Liana malah minta sepeda lipatnya dibawa ke rumah baru.

"Kak, kita sepedaan ke mana aja?" tanya Liana sembari menaiki sepeda.

"Kamu ngapain bawa tas kecil? Tinggal aja ih, berat." Bukan menjawab pertanyaan, Nata malah penasaran kenapa Liana membawa tas kecil di pundaknya.

Liana bersikeras, ia tetap ingin membawa tas kecil untuk jaga jaga, "Nggak mau, mau di bawa aja."

"Ya udah di bawa aja, kamu sepedanya jangan ngebalap balap ya, di belakang aku aja. Juga, jangan ngilang!" ucap Nata di ujung penuh penekanan. Liana manggut-manggut saja, tapi gayanya udah kaya orang mau lomba agustusan.

Mereka membaca doa sebelum berangkat lantas Nata menginjak pedal sepeda santai. Niatnya sih ingin menuntun istri menikmati pemandangan, tetapi Liana selalu balap balap di sampingnya.

Anata!Where stories live. Discover now