8. Isu

22 6 0
                                    

Nata sangat bersyukur karena beban di perut sudah keluar. Di rasa ada yang aneh, ketika melihat ke bawah, Nata baru sadar kalau hanya memakai sepatu sebelah, sebelahnya tidak tahu dimana. Nata menepuk jidat, menyadari perbuatan yang lalai, melupakan sepatu yang terlepas ketika berlari menuju wc. Nata benar benar lupa sepatunya terlepas dimana, ia cari kesana kemari, tak ketemu juga.

Ketika menyusuri bagian gantungan kunci, matanya terbelalak melihat sepatunya tergantung di salah satu deretan tersebut. Melihat kanan kiri, Nata mengambil sepatu dan menjauh sedikit dari tempat itu. Sudah jelas Nata menebak ia kena iseng seseorang. Tangannya mencabut potongan kertas kecil di alas sepatu, tulisan tangan rapi tetapi satu kata itu sangat membuat Nata geram.

Blee乁 ˘ o ˘ ㄏ

Nata meremas kertas itu dan memasukkan ke dalam kantong celana. Ia berdiri, lanjut berjalan ke bagian rak novel. Beberapa menit, Nata menuju kasir melakukan pembayaran, jumlahnya dua novel yang ia beli. Sembari mententeng paper bag, tangan satunya memutar mutar kunci dengan jari telunjuk. Baru saja Nata menancapkan kunci, kang parkir menepuk jok belakang hingga Nata berpaling.

"Mas, tadi ada cewe nitip ini buat mas nya."

"Hah?" Nata heran, tapi tangannya tetap mengambil kopi kaleng itu, "cewe siapa, Kang?"

Kang parkir menggeleng kepala, "Dia gak mau ngasih tau namanya, dia cuma mau saya ngasih minuman ini ke mas nya."

Nata tidak ambil pusing, "Kalau begitu terimakasih banyak, Kang. Saya duluan."

Sembari mengacungkan jempol, "Oke, Mas! Hati hati di jalan," ucap Kang parkir.

Di perjalanan, Nata memikirkan siapa yang sudah berbuat iseng dan baik padanya dalam satu waktu. Tidak mungkin kan..gadis itu? Nata hanya menjadikan sasaran objek ini si Liana, gadis tengil yang selama ini ia kurang suka, karena selalu muncul dan sedikit mengganggu hidupnya.

♡♡♡

Sekolah Tahfiz

Kepala Liana menunduk lemas, tidak mood di sekolah. Pandangannya hanya berfokus pada kaki yang berjalan menuju kelas. Tanpa sadar, ia menabrak seseorang di depan mata karena terlalu pusing, Liana sempat memijat dahi. Kepalanya menunduk ke bawah tanpa ada kata minta maaf. Kedua kaki tepat sampai di depan mata, dengan menenteng paper bag berisi dua buku tebal, ia menyapa.

"Liana, kamu sakit?"

Pemilik nama mendelik, suara begitu familiar, itu pasti Nata. Liana berusaha berdiri tegak walau sempoyongan. Padahal tas cuma berisi buku biasa dengan air minum, entah kenapa rasanya sangat berat. Pertanyaan itu belum saja Liana jawab, ia menutup mata menahan sakit.

"Eh Ustadz Nata!" Sapa Indah dari kejauhan.

Liana mengangkat sedikit kepala, "Gapapa Ustadz, im okey."

Liana mempercepat langkah sementara Indah memperlambat langkah sembari melihat Liana dengan kedua alis yang bertautan. Indah spontan menaikkan dagu sambil menatap Nata. Tetapi Nata menghedikan bahu, menggeleng kepala. Tangannya terulur memberikan paperbag berisikan dua novel tebal, Indah senang hati menerimanya.

Indah sedikit mengintip di sela sela paperbag, "Makasih banyak, Ustadz tau aja novel kesukaan saya. Ngomong ngomong semalem saya ke gramedia juga, liat liat buku doang." Ia berlalu memeluk bag dengan wajah sangat gembira. Sampai sampai Nata salah tingkah dibuatnya.

Pertanyaan mulai membuncah di fikiran lelaki itu, "Ustadzah kemaren ke gramedia jam berapa ya?"

"Jam empat Ustadz."

"Berarti yang isengin saya, Ustadzah dong? Hayo ngakuu."

Indah sempat heran, "Hah? Kapan saya isengin Ustadz di gramedia? Saya ga berani."

Anata!Where stories live. Discover now