9. Siapa yang sakit?

18 7 0
                                    

Liana memandangi diri sendiri di depan kaca full body. Berputar putar tidak jelas, bergaya ala model kekinian, begitulah kelakuan Liana kalau sendiri di kamar. Alisnya masih sedikit basah karena air wudhu, wajah begitu segar di cermin. Sore ini sekolah tahfiz lagi, bertemu Nata lagi dan lagi. Sampai kapanpun Liana tidak pernah bosan memandangi manisnya wajah Nata, tapi Nata lah yang mungkin sudah enek melihat Liana setiap hari.

Ketika sampai di sekolah tahfiz, Liana menenteng tas sembari jalan santai. Hawa sekitar area sekolah, Liana sangat menyukai itu. Beban serasa terangkat dan fikirannya perlahan jernih. Pepohonan terlihat indah ketika sinar matahari masuk di celah celah dedaunan. Suasana sangat damai, merasuki relung hati.

Bau bau Harun, Liana tahu Harun tengah berjalan mendekatinya. Langkahnya yang kecil kemudian disamaratakan Harun, ikut berjalan di sebelahnya.

"Udah murojaah lo di rumah, Li?" tanya Harun membuka suara.

"Udah," ujar Liana singkat.

Harun berseru senang, "Widih, berarti hari ini bisa nyetor sepuluh ayat dong!"

"Enggak."

"Lah? Bukannya udah murojaah?"

Jujur saja, Liana ingin menangis jika ditanya masalah hafalan. "Gue nggak nyampe sepuluh ayat, Harun! Gue hafalnya cuma dua ayat, dan gue nggak bisa nyetor hari ini."

Wajah Harun datar, "Ya Allah, nyetor lo ngutang mulu, Li. Al bayyinah gue denger kemaren lo bacanya kebelit belit."

Liana berasa dihantam palu godam oleh Harun, "Iya iyaaa ketua kelas yang sopan dan baik hati! Besok besok nggak ngutang lagi."

"Lo kayaknya butuh serum anti tolol deh," usul Harun.

Siapapun jika berteman dengan Harun, yang darah rendah pun langsung darah tinggi kayaknya.

Liana naik pitam, "Bacot banget, lo anak siapa sih!?"

"Anak Mak sama Bapak gue lah."

"Oalah, gue kira anak pungut."

"Nani?" Suara Harun parau.

Keceplosan.Langkah Harun terhenti dan Liana memalingkan wajah ke belakang, wajah Harun terlihat marah bersiap mencekik Liana. Liana langsung menyiapkan kuda kuda berlari sekencang kencangnya. Harun mengatur nafas mengeluarkan jurus kungfu yang terpendam.

"BBAKAAA!!!" jerit Harun mengejar Liana.

Tidak terasa pandangan sudah terganti ke sebuah ruangan kelas yang bersih, beberapa santri dan santriwati lain sudah duduk mengobrol satu sama lain. Tak lama kemudian Ustazah Indah datang membawa beberapa buku dan pulpen hitam di tangan kanannya. Liana sudah menerka nerka pasti Nata tidak mengajar hari ini.

"Assalamualaikum, Ustadz Nata hari ini Ustadzah yang gantikan, karena beliau terkena demam, sekarang lagi baring di uks."

Wanita bernama Indah tersebut meminta santri untuk berdoa terlebih dahulu sebagaimana hendak memulai pelajaran. Melihat wajah Indah begitu adem, Liana tertunduk, merasa malu akan dirinya sendiri. Jika dibandingkan dengan Ustazah Indah, dirinya terlempar jauh. Kembali fokus belajar, Liana izin ke toilet sebentar lantaran ingin sekali buang air kecil.

Baru saja Liana berdiri, Harun mencegahnya, "Li, lo mau ke mana?"

"Ke wc."

"Ikut!"

Liana memicingkan mata, "PALA BAPAK LO!!"

Bagai kilat, Liana melesat jauh dalam sekejab mata setelah diberi izin oleh Indah. Kanan kiri tak lagi ia perdulikan, saking tidak tahannya kedua tangan mengepal dan sedikit berkeringat.

"Ya Allah, dikit lagi pipis."

Matanya terbuka lebar ketika pintu wc terbuka sedikit, artinya tidak ada orang didalamnya. Setelah membuang segala rasa cemas dalam titisan air, Liana bernafas lega, akhirnya sudah lepas penderitaan selagi ia menahan di dalam kelas. Sebelum balik ke kelas, Liana ke tempat wudhu khusus wanita. Melepas hijab, jam tangan serta kaos kaki yang menjadi prioritas utama jika keluar rumah.

Usai berwudhu, Liana merapikan kembali semula. Berjalan keluar dengan hati hati sebab lantai basah karena air, Liana sangat takut terpeleset, karena bukan sekali dua kali saja. Di sekolah SMK pun lantai yang kering Liana sering terpeleset, tak ada angin tak ada hujan. Ia sangat ingat ketika ia sengaja berseluncur di kelas ala ala memakai sepatu skating, tetapi Liana hanya mengandalkan kaos kakinya. Karena kecepatan tinggi, Liana tidak bisa ngerem dan akhirnya menubruk pintu masuk kelas.

Tiba tiba saja Liana berhenti di depan UKS, kalau tak salah tadi ia dengar Nata berada di dalam. Ide cemerlang muncul. Liana diam diam masuk UKS, matanya menengok kanan kiri memastikan bahwa tidak ada yang lewat di sekitar UKS. Benar saja, ia melihat Nata tengah berbaring menghadap langit ruangan. Ia tersenyum tipis, lalu perlahan mendekati Nata, matanya terpejam, wajahnya terlihat lelah.

"Yahh, Ustadz sakit ya?"

Diam diam memandangi, Nata mengerutkan kening sembari bergerak tak nyaman. Seperti kedinginan, tangannya menyatu di depan dada serta kaki berlipat, menggesek gesek kedua telapak kaki. Berjalan pelan tanpa menimbulkan bunyi, Liana menutupi badan Nata sampai ke leher dengan selimut tebal. Ia bingung, ia ingin mencek suhu panas dengan termometer digital, tetapi matanya tidak menemukan objek benda itu.

"Termometer!" seru Liana pelan ketika melihat ujung termometer digital di bawah bantal Nata. Menarik perlahan, matanya terbelalak, demam Nata tinggi, pantas saja Nata kedinginan.

Liana mencari kain untuk mengompres, ia berfikir dua kali ketika tangannya menemukan kain serbet setengah kotor. Masa iya, harus dijadikan kain kompres. Alih alih mencari, ia teringat di kantong gamisnya menyimpan sapu tangan polos masih bersih.

"Ah daritadi kek, Alhamdulillah ya Allah untung ada."

Liana mengambil mangkuk kecil, sejenak ke wastafel mengisi air, ia kembali lagi. Memeras air, dan meletakkan sapu tangan di atas dahi Nata. Rasanya Liana tidak tega jika meninggalkan Nata di ruang setengah gelap itu sendirian.

"Ustadz ayo sembuh, jangan sakit sakitan, belum tua juga," celetuknya.

Ingin rasanya Liana menangkup kedua tangannya ke pipi Nata, tapi takdir belum mengizinkan. Tangan wanita pertama manakah yang akan menangkup kedua pipi lelaki di depannya ini, sungguh sangat beruntung. Lagi lagi Liana sedih atas diri sendiri yang hanya bisa melakukan hal kecil setiap harinya bahkan diam diam, tidak pernah Nata tahu perlakuan dari siapa.

Liana berdiri, menengadahkan gelas di atas tombol air panas, menekan tombol, air keluar bersama asap kecil. Membuka kulkas, Liana melihat ada sepiring kue. Tidak ada pilihan lain, diambilnya lah kue tersebut lalu ia sajikan bersama air hangat di atas nampan. Nampan tersebut ia taruh di atas nakas samping ranjang Nata.

Jemari telunjuk dan ibu jari menarik ujung sapu tangan yang basah, Liana mencelupkan dan memeras kain itu lagi. Usai mengompes, Liana keluar UKS berjingkit jingkit. Tapi dirasa ada yang kurang kalau tidak menjahili Nata, apalagi ia tengah tertidur. Akhirnya Liana balik lagi ke uks, tangannya mengambil spidol warna hitam, kini ia berdiri di depan ranjang Nata sambil tersenyum penuh arti.

Liana mempercepat langkah sampai ke kelas. Ketika sampai, semua mata tertuju padanya. Ustazah Indah bertanya, "Liana, kok lama?"

"Hehe, tadi sakit perut Ustazah, buang hajat."

"Lo berak? Untung gak ikut gue tadi!" ucap Harun menimbulkan seisi kelas gelak tawa.

Sembari berjalan Liana menyahut Harun, "Ya siapa juga yang mau ngajak lo!"

Indah hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil, manis. "Liana udah wudhu belum?"

Liana mengangguk, "Udah dong!"

♡♡♡

Anata!Where stories live. Discover now