3. Pengganggu

31 9 0
                                    

SMK Nusa Indah

Pagi hari, pijakan sepatu Liana tercetak di tanah depan rumah, ia menaiki sepeda lipat yang berwarna hitam doft, sepeda andalan menuju sekolah. Menghirup udara segar, rongga-rongga pernapasannya begitu lancar. Sembari melihat burung burung kecil beterbangan di atas pepohonan maupun atap rumah orang.

Sesampainya di parkiran sekolah. Ia melihat teman kelas, Gean Alvaro, bersama teman circlenya nongkrong di area sepeda motor. Tidak sengaja matanya dan mata Gean saling bertemu, namun Liana tak menunjukkan ekspresi apa apa, ia berlalu dengan wajah tak menahu, tak peduli.

Waktu berlalu, ketika lonceng bel istirahat berbunyi, semua siswa berhamburan keluar menuju kantin. Setelah guru keluar, kelas Liana begitu gaduh, keadaan seperti di dalam pasar. Begitupun dengan Liana yang mengajak temannya, Naira Asyifa.

"Nai, ngantin yu!"

Tanpa pikir panjang Naira mengiyakan. Baru saja Liana beranjak dari kursi hendak berbalik, tiba tiba sebuah benda persegi panjang menghantam pipinya. Iya, itu penghapus papan tulis.

Blak!

"Mampus kena singa," ucap seseorang bernama Alfin.

Liana sejenak mematung, menundukkan pandangan ke bawah. Penghapus papan tulis itu, serbuk hitamnya membekas di lantai. Liana memicingkan mata, melihat siapa pelaku yang telah berani melempar benda itu hingga pipi dan kerudungnya berubah jadi hitam. Iya, itu Gean, si pelaku. Naira panik, Liana sudah memasuki mode kurama.

"Duh, ma-maaf Li. Gua nggak sengaja. Gua mau lempar ke Alfin padahal, tapi malah kena lo."

Tergagap gagap Gean menjelaskan ketika Liana berjalan ke arahnya sambil membawa penghapus papan tulis. Tanpa basa basi, Liana langsung melempar balik penghapus itu mengenai baju putih milik Gean. Gean terkejut, tak terima.

"Kok lo lempar balik si? Kan gua dah minta maaf."

"Biar kita impas," Liana menunjuk pipi dan kerudungnya, "ini serbuk di papan tulis susah nyucinya."

"Aelah, tinggal lo beli aja yang baru, ribet amat hidup lo," ucap Gean dengan tampang tak bersalah.

Naira dan teman teman yang lain tepuk jidat bersamaan. Bukannya masalah selesai, Liana dan Gean malah adu mulut. Liana tak terima perkataan Gean barusan seakan akan dengan uang, semua aman dan nyaman. Gean kalau bicara memang sering tidak di filter.

Gean berdecak kesal ketika melihat kotoran hitam bercetak segipanjang di bagian dadanya. "Lo mah enak kerudung doang, gua mah baju. Ini baju belinya mahal, tabungan lo juga ga bakal cukup buat gantiin baju gue."

"Lah, malah adu nasib. Lo pikir lo cucunya Ratu Elizabeth gitu?" Liana menghedikan bahu, ia memutar bola mata, "mending lo jangan cari masalah lagi deh sama gua, gua nggak mau marah marah."

"Gua bakal cari masalah sama lo, gua bakal ganggu lo setiap hari mulai dari hari ini!"

"Anjir Gean, lo salah banget ngomong begitu sama Liana," sela Alfin panik.

"Dia yang cari masalah sama gue, orang gue udah minta maaf."

Mendengar penuturan begitu, mata Liana nyalang, ia hendak mencakar wajah Gean lalu menjambak rambut lelaki itu. Liana hendak lepas kendali, hampir saja ia mengamuk ke Gean, namun Liana sudah lebih dulu ditahan Naira. Begitupun juga dengan Gean, padahal ia sudah memasang kuda kuda, tetapi Alfin menyeretnya ke belakang. Perdebatan berakhir, Liana lanjut ke kantin walau pakaiannya sedikit aut autan serta kerudung yang bernoda hitam.

Naira bertanya, "Lo nggapapa, Li?"

"Nggak papa apanya, kerudung gue nih, kotor!" kesal Liana sembari mendengus, "awas aja kalau dia bikin masalah lagi sama gue, gua tebas palanya."

♡♡♡

Sesampainya di rumah, Liana masuk kamar banting pintu, Dahlia yang berada di dapur pun juga sempat kaget mendengar suara berdentum dentum. Liana melepas kerudung, ia menyentuh noda hitam dengan penuh rasa kesal. Sehabis terjadi perdebatan dan sempat cekcok, balik dari kantin sampai pulang sekolah moodnya turun drastis.

Dahlia mendengar hentakan kaki Liana mendekat, ada apa dengan putrinya itu, ia dipenuhi pertanyaan. Tangan Liana membuka kulkas dan mencari sebotol air soda di sana. Lantas Liana mengambil botol tersebut, ia heran mengapa dirasa ringan, ternyata isi botol sudah habis.

Liana mendengus, "Bu, ini siapa yang ngabisin minuman Kaka?"

"Si Fadil yang minum," ucap Dahlia.

"FADILLLLLL!!!"

Ketika malam tiba, dimana semua anggota keluarga berkumpul dalam satu meja makan, menyantap makanan dengan tenang, menikmati cita rasa masakan buatan Dahlia. Adrian dan Fadil terheran-heran melihat Liana yang menekuk wajah, bukannya makan ia malah mengaduk ngaduk nasi tidak karuan. Adrian bertanya ke Dahlia dengan kode, namun Dahlia hanya menggeleng kepala tanda tidak tahu.

"Kenapa, Ka?" Dahlia membuka suara.

Gadis itu berdecak kesal, "Kenapa sih, Bu. Semua laki laki suka cari masalah."

"Kenapa emang laki laki?" Adrian mengangkat satu alisnya.

"Tadi loh, Bah. Di sekolah pas mau ke kantin, kena lempar penghapus papan tulis sama temen Kaka yang cowo, kerudung Kaka jadi kotor. Ya Kaka marah disitu, terus dengan gampangnya dia bilang gini, tinggal beli aja ribet banget. Oihh, langsung Kakak amukin."

"Cowonya ganteng ngga, Kak?" Tanya Adrian.

Sontak Liana mengerutkan dahi, "Kok malah nanya ganteng apa engga si, Bah? Muka dia aja modelan kodok zuma."

"Astaghfirullah dibilang kodok." Dahlia menutup mulut dengan ekspresi tak percaya.

"Naksir Kakak kali, makanya digangguin." Tutur Adrian memancing Liana lagi.

Tanpa sadar, sendok di tangannya sudah bengkok hingga terlipat sempurna, "Abah cari ribut ya sama Kaka? Daripada bahas kodok zuma, mending kita adu panco aja, Bah."

"Udah udah," rahat Dahlia yang mulai sakit kepala ditengah perdebatan antara suami dan anak pertama, "kakak cuci aja dulu kerudungnya, tapi nyucinya rendem dulu di air hangat sambil dikasih detergen."

Liana sedikit tenang setelah mendapat saran, ia melanjutkan makan.

"Gimana, Ka?" tanya Adrian mengalihkan topik pembicaraan, "udah ambil keputusan belum?"

Sambil memakan sepotong ayam goreng dengan gaya kaki naik satu, gadis itu masih sibuk menyantap dengan lahap, namun masih merespon dengan deheman.

"Keputusan kamu gimana? Jadi kuliah apa sekolah Tahfiz?"

Liana tersentak, ia baru saja teringat dengan perdebatan tentang kuliah. Ia menghentikan makan sejenak, memikirkan matang matang, hingga Adrian juga ikut menghentikan makan, menunggu keputusan sang anak.

"Liana milih sekolah Tahfiz, Bah."

Dahlia tersenyum penuh arti, "Asik, bisa ketemu sama panitia deh."

"Sekolah yang bener ya, Ka. Jangan suka cari masalah," timpal Adrian sambil memakan kerupuk.

Liana tersenyum hamba di sela sela helaan nafas, "Baiklah."

Anata!Where stories live. Discover now