16. Mending jangan deh!

12 4 0
                                    

Mendekati ujian tahap akhir, Liana berusaha keras untuk fokus pada ujian kali ini, biasanya ia tidak pernah serius. Selama 14 hari ia mengurung diri di lab komputer, kadang kadang sampai menggigil karena Liana tipe yang tidak tahan dingin. Tapi demi belajar, ia harus berusaha untuk bisa, maksimal.

Liana menatap layar komputer sesekali berubah menjadi warna kuning, mengalihkan pandangan ke lain adalah cara untuk menetralkan cahaya matanya sendiri. Ketika membalikkan badan, Liana terkejut lantaran di sebelahnya ada Gean sedang berdiri sambil memainkan handphone, satu tangannya memegang kepala kursi teman yang lain.

"Gimana, Li? Udah bisa terhubung wifinya?" tanyanya.

"Udah," sahut Liana dingin.

"Maafin gue dong, gue janji nggak jahilin lu lagi, suwer." Gean mengacungkan kedua jari.

"Iya." Lagi lagi sahutannya dingin.

Usai dari lab, ketika Liana memasang sepatu. Jantungnya hampir loncat ketika Gean tiba tiba duduk di samping. Sambil menunduk ke bawah memasang sepatu, Gean juga ikut sibuk mengikat tali sepatu. Liana spontan berdiri lalu melenggang pergi. Ia turun menuju kursi panjang di depan kantor, niatnya memang duduk sendiri, karena Naira belum keluar dari lab.

Liana melongo melihat Gean berjalan menuju ke arahnya, ada yang sedikit berbeda dari hari ini. Gean penampilan biasanya agak cupu waktu kelas sepuluh, sekarang mulai kece dan tebar pesona. Seragam putih ia keluarkan ala ala fuckboy, tasnya ia sampirkan ke samping bahu, ia kibaskan rambut cetar membahana. Udah kaya artis korea.

Baru saja Gean duduk menyampingi, Liana sudah mengangkat bokongnya lagi mencari tempat duduk yang lain. Ia merasa bagai buronan, diikuti kesana kemari, ia takut kalau teman teman lain pada so uzon. Liana mendapatkan mimik wajah Gean datar, mungkin sedang kesal karena Liana tidak bisa diam dan tenang di satu tempat.

Kekesalan Liana menguar, "Ih lo ngapain ngikutin gue mulu dari tadi!? Kaya anak ayam aja lo!"

"Gapapa, mau ngikut aja kemana lo jalan," jawabnya santai tanpa ada beban.

Liana menghentakkan kaki, "Tapi gue nggak mau di ikutin, bego!"

"Terserah lo," Gean menghedikan bahu, "pokoknya gue mau ngikutin lo."

"Cih!" Liana berdecak kesal, "au ah!"

Liana berjalan lagi, pokoknya ia memastikan bahwa Gean tidak mengikuti langkahnya lagi. Ia masuk wc, menuju perpus, bermain ayunan, serta mengelilingi kantin. Ia membatin kapan kah Naira keluar lab, sudah setengah jam ia menunggu mondar mandir tidak jelas. Apalagi dengan keberadaan Gean, membuat Liana menjadi lebih kikuk dari biasanya, berasa di teror.

Sampai akhirnya, Liana merasa Gean sudah pulang, ia kembali berjalan menuju kursi panjang di depan lab dan duduk tenang. Ia memejamkan mata seraya menyilangkan tangan, menjernihkan fikiran. Sampai kepalanya menunduk, terdengar suara langkah sepatu menuju ke arahnya.

Karena Liana sangat mengantuk, ia tak memperdulikan hal itu, ia fikir itu guru yang berjalan menuju lab. Ternyata bukan, dugaan melesat jauh, ternyata Gean lah yang berada tepat di depannya sekarang.

Liana ancang ancang merasakan hawa keberadaan Gean, hanya berpura pura tidak tahu saja. Masih dengan posisi menunduk pura pura tidur, Gean duduk di samping Liana, seolah olah gadis itu tidak merasakan kehadirannya.

"Gue, ngerasa bentar lagi kita lulus."

Emang iya, kenapa? Lo mau seterusnya tinggal di sekolahan?

"Apa habis lulus sekolah, gue bisa ngeliat lo lagi?"

Bagai tersentrum, Liana baru kali ini mendengar Gean bicara seperti itu, ingin muntah saja. Kedua mata Liana masih terpejam, mendengarkan Gean berbicara sendiri tanpa ada respon balik. Sampai pada akhirnya Gean mengatakan suatu hal yang paling Liana takutkan.

"Gue suka sama lo, Li. Maaf gue baru nyadar kalau perasaan gue makin hari makin besar ke lo. Gue takut lo diambil sama yang lain, maka dari itu, jadi pacar gue ya?"

Darrrr!!

Liana bergeming, membuat Gean merasa kalau gadis disampingnya ini benar benar tidur, Liana tak pandang tempat, dimana jika mata mulai terpejam, ia pasti tertidur pulas. Tapi kali ini tidak, waktu inilah akting Liana digunakan, ia sebenarnya tidak tidur, telinganya mendengarkan cuma tidak ingin Gean tau.

Gean menghela nafas, "Ya sudah, gue bakal nunggu lo. Ucapan gue barusan, gue minta maaf, gue harap lo ga tidur beneran. Gue bener bener suka sama lo, gue serius sama lo." Lantas Gean berdiri seraya menyampirkan tas di pundak. Ia memasang masker dan meninggalkan gadis itu sendiri.

Setelah Gean menjauh, barulah Liana membuka mata. Sesaat Liana merasa kepalanya dihantam bertubi tubi ketika mendengar pernyataan cinta yang Gean ungkapkan. Ia tidak ingin, bukan Gean yang Liana mau.

"Makasih, Gean. Udah berani ngungkapin isi hati lo. Tapi bukan lo orangnya."

♡♡♡

Satu pekan berlalu, gadis bernama Indah Maharani yang kerap disapa Ustadzah Indah di area sekolah, memunculkan batang hidung lagi setelah beberapa hari tidak mengajar. Kedua bulu mata lentik, alis terukir sempurna, kulit putih bersih, sholehah. Siapa sih yang tidak kagum dengan beliau ini?

Indah berjalan sembari menatap jam yang melingkar di tangan, langkahnya membawa ke ruang kantor. Duduk di kursi, selebat bayangan menarik perhatiannya, badan langsung tegak ketika Ustadz Nata lewat di depan meja.

Ingin Indah menyapa, tenggorokannya terasa berat, lidahnya terasa kelu. Lelaki perawakan tinggi tersebut, sikapnya sudah tak sama lagi. Menjadi cuek dan tidak menganggap keberadaan Indah ada di sekitar. Padahal dulu, Ustadz bernama Nata itu selalu mengembangkan senyuman ketika Indah muncul, selalu memberi hadiah hampir setiap minggu. Sekarang, jangankan memberi hadiah seperti biasa, menoleh pun tidak.

Nata mencari sesuatu di dalam laci, ia sedikit mengobrol dengan para Ustadz yang mengajaknya bicara. Indah heran, mengapa lelaki itu sama sekali tidak menatapnya, menganggapnya tidak ada. Usai mengobrol sebentar, Nata kembali melangkah keluar kantor, namun di cegah oleh Indah.

"Ustadz Nata!"

Pemilik nama itu berbalik badan, tidak lupa dengan ekspresi wajah dingin, "Ada apa, Ustazah?"

Indah senyum hambar, "Nggak papa, Ustadz. Cuma mau negur aja. Silahkan jalan lagi." Indah mempersilahkan.

Nata mengangguk dan pergi, Indah tidak suka dengan sikap Nata barusan, sangat cuek padanya. Padahal dahulu ketika ia menegur duluan, ekspresi lelaki itu selalu salah tingkah. Indah ingin Nata yang dulu, Indah ingin senyuman Nata kembali ketika melihat dirinya.

Indah merogoh gawai di dalam saku gamis, membuka kunci layar dan membuka aplikasi WhatsApp. Tidak ada balasan dari Jefri, tambatan hatinya yang studi ke Tarim. Isu itu memang benar, Indah dan Jefri sama sama suka. Tetapi, Indah juga tidak ingin Nata berhenti suka padanya.

Sedikit berlari, Nata tak sengaja bertabrakan dengan Liana di depan kelas. Beda nya Nata cuma mundur sedangkan Liana jatuh tersungkur. Mantul. Gadis itu meringis kesakitan, perlahan bangun menggosok pantat yang sakit.

"Duhh, sakit," ringisnya.

Mendongak ke atas, Liana terdiam tersihir ketampanan Nata. Lelaki itu, pecinya agak miring kaya orang songong, tetapi wajahnya bersinar, sungguh Liana terpesona.

"Bangun!" titah Nata, "duduk jangan di tengah jalan. Terpesona banget ya sama saya sampai natap kaya gitu?"

Lamunan Liana buyar seketika. "Sok ganteng, Ustadz!"

Liana berdiri lantas masuk kelas sambil membatin. Ya Allah Ustadz Nata ganteng banget, yang ini boleh diambil suami nggak sih? Capek tiap hari liatin mulu, milikin belum bisa.

Anata!Where stories live. Discover now