2. Jalan selanjutnya

26 9 0
                                    

Sudah seminggu acara berlalu, kini Liana masih terbayang bayang wajah sang lelaki yang telah masuk mendobrak hati tanpa izin pemilik hati. Liana tidak tahu dengan keadaan hati, sangat merindukan lelaki yang wajah teduhnya memberikan kesan hangat.

Liana menghembuskan nafas berat, menstruasinya tak kunjung datang lantaran belakangan ini pikiran sedang kacau, ditambah sosok lelaki yang menghantui pikirannya. Lelaki yang membuat Liana uring uringan, ingin sekali tahu nama dari panitia pelaksana acara tersebut. Kepo tingkat atas.

Bangun pagi, kepalanya masih berada di atas bantal, sinar matahari sudah menembus gorden tebal ventilasi, kicauan burung sudah terdengar, biasanya banyak burung yang nengkreng di atas tali listrik di depan kamar Liana. Kebiasaan, sholat subuh selalu tertinggal.

Membuka jendela, merapikan tempat tidur, serta berkaca. Ia melihat lingkaran dibawah matanya tak kunjung menghilang walaupun tidur lebih awal. Temannya bilang, disebabkan otot mata besarlah yang membuat mata Liana terlihat selalu berkantong. Tangannya mengambil sisir di depan kaca, menyisir rambut yang amburadul habis bangun tidur. Kebiasaan Liana, sebelum mandi, ia harus menyisir rambut dulu baru mandi. Biar pas nyisir habis mandi gak ribet katanya.

Seharian merasa bosan, matanya juga sakit jika terlalu lama main handphone. Sore hari, Liana berencana mengantar Fadil sekolah Tahfiz menaiki sepeda motor. Sembari dijalan Liana membuka obrolan.

"Dil, kamu tau gak nama panitia yang kemaren Kaka maksud?"

"Hah?" Kedua alis Fadil berkerut terlihat dari kaca spion, "panitia yang mana?"

"Yang kaka ceritain pas balik dari acara kamu itu loo."

"Ngapain nyuruh Fadil?" Fadil buang muka, "nggak ah, Kaka kan bisa nanya langsung sendiri."

"Eahh, turunin juga nih!"

Nani? Nano hanashi? Watashi nanya ke orangnya langsung? Cuih, ngerepotin!

Ketika sudah sampai, Fadil turun dari motor lantas mencium tangan Liana. Hendak lanjut melangkah, Liana kembali menarik tangan sang adik.

"Ih Kaka minta tolong dong, tanyain namanya, yah?"

Wajah Liana memelas, baru kali ini Liana memohon segitunya. Biasanya Liana judes dan cuek jika berurusan dengan Fadil.

Walau nadanya terdengar malas, Fadil tetap nurut, "Iya iyaa, nanti Fadil tanya, kalau ada ya."

"Semoga ada ye. Hus pergi sono!"

Fadil langsung datar dan berbalik melangkah menuju gedung tahfiz, menunggu sebentar sampai punggung Fadil tak terlihat lagi, barulah Liana pulang ke rumah sambil menghalu ia sudah tahu nama lelaki itu.

Namanya siapa ya? Yanto, Manto, Udin, Ujang, apa Nurman? Batinnya bicara.

Beberapa jam kemudian, ketika hari sudah malam, Fadil dijemput oleh Abah. Dikarenakan Liana ada hal yang tidak bisa dihindari mengenai tugas sekolah, akhirnya ia minta tolong untuk Abahnya saja yang jemput Fadil. Beberapa menit kemudian, langkah sendal terdengar di telinga Dahlia, begitu juga Liana, mereka berdua kompak mengarah ke pintu masuk.

Krekk

Ternyata benar, itu Fadil yang datang, sembari meletakkan tas, ia berjalan ke depan tv sambil merebahkan diri di depan kipas angin. Liana datang mendekat, berharap sang adik sudah mengetahui nama lelaki yang menarik perhatiannya. Liana duduk disebelah Fadil, Fadil melihat Liana tengah melihatnya dengan kedua alis terangkat ke atas, berharap ada jawaban dari Fadil walau secuil selai nanas.

"Aku tadi sholat isya sebelahan sama laki laki yang Kakak maksud."

Whattt

Mendengar pernyataan barusan, Liana reflek pingsan satu detik.

Liana tidak karuan, cengar-cengir sendiri, salting sesalting saltingnya. Semburat merah dipipi makin terlihat, tiba tiba saja hawa menjadi panas. "Trus gimana?" tanyanya sambil mengipas wajah dengan tangan.

Makin tidak sabar ia menunggu Fadil membicarakan lelaki itu, "Dia ada di gedung Tahfiz malam, tapi Fadil ga tau namanya siapa."

Mendengar itu eskpresi wajah Liana perlahan datar, menghembuskan nafas dengan kesal, menatap Fadil malas. "Orang itu ditanya! Tanya namanya doang kok." Sambung Liana.

"Abisnya Fadil malu, dia ganteng banget," ujar Fadil.

Liana nyengir kuda, "Ya kan ganteng banget kan? Nanti tanyain lagi yah kalau ketemu."

"Ketemu siapa?" tanya Dahlia tiba tiba ikut bergabung tanpa di undang, dengan membawa nampan berisi teh hangat.

"Panitia itu ya?" Suara Abahnya, Adrian. Mengejutkan keduanya. Sosok Ayah yang membawa toples kue kering di lipatan ketiak.

Adrian dan Dahlia tertawa kecil ketika melihat Liana sedikit menyengir. Sudah bisa ditebak apa isi kepala anak pertamanya itu. Duduk santai di ruang keluarga, Adrian menyeruput teh sembari membuka lipatan koran.

Adrian membuka suara, "Kamu habis lulus SMK, kuliah masuk jurusan sastra arab kan?"

Liana terkesiap, "Hah? Bukannya Kakak udah bilang mau masuk jurusan seni?"

Adrian menghedikan bahu, "Ga ada tuh."

Gadis itu berdecak kesal, "Abah, Kaka udah bilang kemaren. Kalau jurusan sastra arab, Kaka gabisa. Guru bahasa arab Kaka aja bilang kalau tulisan Liana kayak cakar ayam. Gimana dosen nanti?"

Kekesalan Liana memuncak ketika Dahlia dan Fadil menertawakannya. Bukan sastra Arab yang ia mau, justru jurusan itulah yang sangat Liana hindari. Mengaji saja ia tersendat-sendat apalagi bicara bahasa arab dengan fasih, bisa bisa lidahnya keseleo. Jurusan seni adalah opsi paling disukai, karena semenjak sekolah ia sangat suka bergabung dengan ekstrakurikuler yang berhubungan dengan seni.

"Kamu kuliah sastra arab atau ga kuliah sama sekali?"

Deg!

Liana spontan berdiri dari posisi nyamannya. "Kok gak ngizinin Kaka masuk jurusan seni sih? Kenapa gak ada opsi lain selain sastra arab!?" Jeda tiga detik, "pokoknya Kakak nggak mau kuliah jurusan sastra arab!"

Adrian masih santai menyeruput kopi, sedangkan Fadil dan Dahlia dibuat tegang karena Liana marah marah dengan wajah yang hampir keluar air mata.

"Oke, Abah kasih dua pilihan. Mau kuliah sastra Arab atau sekolah Tahfiz sama kaya Fadil."

Mendengar penuturan Adrian yang tidak ada bedanya. Emosinya makin naik. Difikir Liana, Abahnya memberikan opsi jurusan umum, nyatanya tidak. Sekolah Tahfiz juga adalah yang paling Liana hindari. Kenapa dihindari, karena Liana paling lambat dan susah menghafal. Jikalau begini, mau satu dunia pun memberi semangat, dirinya tetap tidak semangat.

"Kaka gak setuju sama opsi kedua Abah! Pokoknya Liana ga mau kuliah sastra Arab ataupun masuk sekolah Tahfiz, titik!!"

Liana berjalan ke kamar diiringi rasa sedih sebab tidak ada pilihan dari Abahnya yang membuatnya senang. Mengunci pintu rapat-rapat, ia duduk di tepi jendela melihat bulan purnama, air matanya turun begitu saja. Pipinya basah, hidungnya memerah. Jika memilih masuk sekolah Tahfiz, ia merasa tak sanggup karena setiap hari menghafal Qur'an.

Anata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang