6. tidur

23 8 0
                                    

Liana menyiapkan tempat tidur rapi rapi, walaupun jika bangun tidur nanti akan berantakan lagi. Liana adalah tipe orang yang jika tidur, akan berputar seperti gasing. Pernah sekali ia menginap di rumah sohibnya, Ara. Ia pernah mengeluh karena saat tidur Liana menendang kepalanya. Itulah mengapa kasur Liana dua kali lipat besarnya dari kasur Ara.

Liana duduk di kasur sembari bersandar pada tembok yang dingin. Menumpukan kedua tangan pada selonjoran kaki, ia mengatur nafas dan memejamkan mata. Hiruk pikuk di sekolah masih membekas, apalagi pelajaran matematika yang tidak Liana sukai itu, muncul besok hari pada jam siang habis dzuhur. Apa nggak seperti gunung meletus kepalanya nanti.

Matanya menyipit mengunci fokus objek di atas meja, sempat heran mengapa ada beberapa spidol papan tulis di sana. Liana beranjak dan mengingat ingat, seketika kepalanya diibaratkan kapal pesiar yang menabrak batu karang. Kedua netranya terbelalak menatap lekat beberapa spidol itu.

"Ustadz Nata," cicit Liana bergetar.

Liana menepuk dahi sendiri merutuki kesalahannya. Malam hari ketika Nata meminta Liana mengambilkan spidol non permanen di kantor, Liana ke kantor mengambil spidol namun lupa memberikan pada Nata sebab Haura mengajak pulang. Padahal Nata berpesan agar spidol non permanen di letakkan di kotak pensil agar ia tak lupa.

Di sisi lain, ketika menjelaskan suatu materi pada santri yang wali kelasnya sedang sakit. Nata adalah tipe pengajar yang suka jalan dan suka menulis. Ketika papan tulis dirasa tak ada ruang lagi, ia mengambil penghapus dan menghapus seperti biasa. Ada yang aneh, heran mengapa jejak spidol belum juga hilang walau ia gosok berkali kali. Nata menghadap papan tulis, enggan membalikkan badan karena panik.

Perlahan membalikkan spidol, sontak tubuhnya gemetar, yang digunakan ternyata spidol permanen.

Nata bersuara pelan, "Ya Allah, tolong hamba."

♡♡♡

Sedari murojaah di mulai, Nata memperhatikan gadis yang bernama Liana tersebut dari jauh. Di meja paling belakang itu, dimana semua santri murojaah memperlancar hafalan, ia malah tidur. Nata mendengus karena Liana memasang wajah batu tak merenungi kesalahan kemarin, yang masalah spidol permanen. Liana mengantuk, menutup seluruh wajahnya dengan buku. Padahal Haura sudah berusaha membangunkan dengan cara menoel noel, tapi nihil.

"Ustadz, Liana tidur!"

Spontan yang tadinya asik murojaah, fokus santri beralih pada Harun yang mengangkat tangan tinggi tinggi melaporkan Liana sedang tidur. Mereka semua berbisik bisik membicarakan Liana. Nata bangkit membawa penggaris besar di belakang punggung menuju meja Liana.

Nata memanggil pelan, "Lianaa."

Tak ada jawaban dari gadis itu, rupa rupanya sangat asik di dunia mimpi sampai lupa kalau di dunia nyata lagi ikut pelajaran. Harun curiga, apa Liana benar benar tidur atau hanya pura pura.

"Ustadz, coba buka bukunya, mukanya di tutupin sih sama buku," jelas Harun mengusulkan pendapat.

Tanpa menoleh ke Harun, Nata langsung membuka buku yang menutupi wajah Liana. Satu kelas terperanjat kaget melihat Liana tidur dengan air liur yang mengucur ke bawah membasahi meja. Mimik wajah Nata merasa jijik, geli, dan sedikit lucu.

"Heww, jijik guaa mo muntahh!"

Jeritan Harun sedikit buat Liana terganggu, lantas gadis itu perlahan bangun sambil mengecap ngecap. Melihat Nata di depan meja, berasa lagi nonton adegan jumpscare film horor.

Suaranya parau khas orang bangun tidur, "Ustadz, maaf ketiduran."

Nata membuang nafas berat, ia menunjuk ke luar kelas dengan penggaris panjang kesayangannya. "Cuci muka," titahnya.

Liana menganggukan kepala mengiyakan, ia bangkit kemudian menuju toilet. Di toilet ia mengeluarkan benda pipih persegi panjang yang biasa di sebut handphone. Liana kesilauan saat membuka layar hape, kecerahan layar full sampai bisa jadi lampu kalau toilet gelap.

Nongki di toilet sekitar lima menit, Liana memutuskan untuk balik lagi ke kelas. Sebelum itu, Liana menyempatkan untuk membasuh wajah. Kepala Liana tak timbul di sepanjang kaca jendela karena badannya kecil. Perlu di ketahui, Liana adalah santri paling muda, paling anak anak.

Menyusuri rak sendal di depan kelas, Liana berhenti tiba tiba di depan rak sendal Nata. Posisi yang terbalik ia benarkan hingga tinggal siap pakai. Bandel bandel begitu, Liana perhatian kok, dikit aja.

♡♡♡

Besok harinya, Liana sangat bosan dengan pembelajaran di kelas. Mood yang naik turun karena haid menjadikannya malas mengikuti pelajaran. Liana membuka kotak pensil, manik matanya berbinar melihat dua bungkus permen di dalamnya. Ia makan permen sambil menunduk menyembunyikan wajah.

Ia menangkap kedua netra Harun tengah menatap bak mata elang. Mau melawan tapi nyalinya ciut duluan. Liana menerka nerka pasti Harun akan melaporkan perbuatannya lagi. Lelaki itu, nggak bisa banget liat Liana senang.

"Ustadz, Liana makan!"

Liana memicingkan mata lantas mengumpat, "Asu lo, Harun! Anak anjing!"

"Liana makan, ya?"

Liana merasa terpanggil spotan menegakkan badan dan menggeleng kepala ke arah Nata. Diam diam ia mengepalkan tangan lalu menunjukkan pada Harun. Harun memang semenyebalkan itu.

"Liana Zahira. Saya point kamu," ucap Nata dengan tampang datar.

Bahu yang awalnya tegak mengendur seperti semula. Lebih baik ia melanjutkan memakan permen. Harun terkekeh merasa menang sebab Liana sudah kena point. Ketika pandangan mereka sama sama bertemu, Liana mengacungkan jari tengah pada Harun di bawah meja. Harun tertawa bahagia karenanya.

Nata bersuara, "Liana, point kamu berkurang kalau kamu mau menjalani hukuman."

Tanpa sadar jidat Liana mengerut bersama acungan jari tengahnya ikut menurut mengarah ke Nata. Nata garuk kepala mendapat acungan jari tengah dari santri paling belakang. Padahal Liana tengah ngefrezz karena mencerna perkataan Nata.

"Liana, tanganmu nggak sopan."

Liana spontan menyembunyikan tangan lantas meminta maaf. "Maaf, Ustadz."

Harun tak bisa menahan tawa saat Liana cepat menyembunyikan jemari berdosanya. Kemudian Nata beranjak pergi izin ke toilet. Liana ikut berdiri dan minta izin ke Harun pergi ke toilet juga. Hendak melarang, tapi Harun tau bagaimana rasanya menahan kencing jam pelajaran. Akhirnya Harun mengiyakan Liana pergi walau nanti tahu ada sesuatu yang akan terjadi.

Karena tempat wudhu dan toilet laki laki sama perempuan bersebelahan. Liana mengendap endap berjalan agar langkahnya tak terdengar. Ia mulai mencari jejak Nata, namun tak ada sama sekali. Kemudian ia keluar dari area toilet, melihat ke sekeliling dan ternyata Nata tengah berjumpa dengan Ustadzah Indah, salah satu wanita paling diminati di kalangan santri.

"Ustazah bawa buku apa?" tanya Nata, menyengir.

Indah menunjukkan sebuah novel romansa pada lelaki itu, "Ini, novel best seller. Saya baru beli tadi."

"Oalahh, Ustazah suka baca novel romansa, ya?"

Indah mengangguk cepat, "Suka banget, Ustadz!"

Beberapa menit melihat pemandangan mengerikan, kepala Liana bagai disembur api, makin lama kian memanas. Tangannya mengepal kuat dari kejauhan. Kemudian saat Nata berbalik menuju toilet yang dimana tak ada orang sama sekali. Sesaat ide cemerlang hinggap di kepalanya.

Saat Nata di dalam toilet, Liana mengendap endap masuk ke area cowok, lalu mematikan lampu toilet Nata. Sehabis itu ia lari bagai kilat menuju kelas di iringi cekikikan merasa menang sudah menjahili wali kelasnya itu. Siapa suruh buatnya cemburu.

Di dalam toilet, Nata mengelus dada merutuki siapa yang telah mengisenginya sampai mematikan lampu toilet. Nata mau marah tapi ia ingat lagi di dalam toilet. Ia mengusap wajah gusar sebab di dalam tak ada penerangan sama sekali

Anata!Where stories live. Discover now