25. Tangan pengganti

14 5 0
                                    

Beberapa hari setelah kejadian terkurung dalam gudang, sifat ceria Liana perlahan memudar, bahkan tersenyum saja tidak lagi. Tak seperti biasa, Liana jadi santri teladan, tak cari masalah, tak menimbulkan onar, dan tak menghiraukan Nata lagi, Nata hanya ia anggap guru biasa yang memberi ilmu.

Setiap kali duduk di kelas, Liana seperti tak bernyawa, ia digeluti rasa tak karuan, namun semua itu disembunyikan dalam wajah datarnya. Jujur, Nata merasa kurang, sikap Liana seperti itu membuat harinya jadi suram. Kemana Liana yang seceria dulu? Apa roh nya nyangkut di pohon? Nata merindukan suara tawa gadis itu. Liana kalau sudah merajuk, berani sebulan tak ia sapa orang tersebut.

Pulang mengajar, Nata menyenderkan badan pada kepala ranjang, kakinya berselonjor mencari posisi nyaman. Tak lama ia dapat telepon dari temannya yang masuk rumah sakit. Spontan panik, Nata langsung tancap gas. Karena tak hati hati, ia ditimpa musibah kala malam sudah larut.

♡♡♡

Liana keluar kamar sembari mengambil kunci motor dan helm di atas lemari kaca, "Bu, izin keluar dulu."

"Eh mau kemana? Udah malam ini."

"Mau ke alfa sebentar."

"Oh iya, jangan lama lama."

Dahlia mewanti wanti agar Liana pulang cepat setelah membeli keperluan. Padahal Liana keluar niatnya jalan jalan. Setelah mendapat izin, Liana mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 20 km, kecepatan yang sangat lambat, padahal jarak Alfamart cukup jauh.

Tiba tiba ada seorang lelaki jatuh dari sepeda motor, badannya jauh terlempar dari dari motor. Melihat kejadian itu dengan mata kepala sendiri, Liana langsung gemetaran, ia panik dan langsung turun dari sepeda motor mendatangi korban. Kondisi jalan tengah sepi, gesekan antara motor dan aspal menimbulkan bunyi yang nyaring sehingga warga pada keluar rumah.

"TOLONGGGG!!!"

Liana yang pertama mendatangi korban sebelum warga lainnya ikut melihat lihat, ia berusaha melepas helm bermerek KYT itu dengan pelan. Slayer hitam menutupi setengah wajah, matanya tengah terpejam, untung saja tidak ada luka serius, hanya cedera bekas gesekan di bagian lutut, dan dan bagian siku robek dan berdarah.

"Ka, bangun ka!" Liana menggoyangkan kedua bahu lelaki itu namun lelaki itu tak kunjung membuka mata. Liana reflek membuka slayer dan jantungnya hampir lompat. Ia sangat syok. Lelaki itu adalah Nata Utara Rahman. Liana tak mampu berkata kata lagi, suaranya tercekat, hanya air mata yang mengalir deras di permukaan pipi.

"Bangun, Kak! Ya Allah!" Liana menangis sejadi jadinya, ia tak tahu harus apa.

Tak lama kemudian datang ambulan dari arah berlawanan, lelaki itu di angkat menggunakan tandu oleh petugas rumah sakit. Gerak cepat, ambulan melesat laju menuju rumah sakit bersama bunyi khasnya. Kerumunan warga lambat laun sudah menghilang, sepeda motor lelaki itu pun juga sudah diamankan oleh warga setempat.

♡♡♡

Rumah sakit, 2015

Nata terbangun dari tidur panjang, meneliti kala itu sedang di brankar rumah sakit, mengitari pandangan khas warna putih. Di wajahnya terpasang alat untuk bernafas, jari jarinya terangkat namun lengannya terlalu berat untuk bergerak.

Matanya terlonjak melihat seorang gadis berdiri di dekat jendela, samar samar penglihatan buram, Nata berusaha memanggil tapi suaranya seperti terkunci. Jantung Nata hendak lompat karena awalnya ia kira itu kuntilanak nengkreng di tepi jendela, tetapi setelah mengedipkan mata berulang kali, Nata makin terkejut karena sosok gadis itu adalah Liana.

Liana berbalik berjalan menuju Nata, membalas pandang sang kedua netra yang tengah terbaring di brankar tidak berdaya. Menarik kursi, Liana duduk sembari menatap Nata dengan tatapan iba, tatapan yang menggambarkan rasa khawatirnya sangatlah besar.

"Kak, udah baikan?"

Prot pro pot!

"Nggak papa, kentut aja sepuasnya, hidung aku dah kebal," ucap Liana.

Saat itu juga Nata menyumpah serapahi dirinya sendiri dalam hati, baru saja Liana menyapa, bukannya menyapa balik malah kentut. Tetapi, Liana memaklumi hal itu, mau kentut atau cepirit sekalipun, tak apa. Ia takkan ilfeel.

Nata ingin sekali berbicara, menanyakan apa hal yang terjadi sampai dirinya berada di rumah sakit, ingin bertanya mengapa Liana ada di sampingnya, semua rencana pertanyaan itu membeludak dalam satu pikiran hingga membuat Nata pusing sendiri.

Nata yang lemah hanya bisa menepuk pelan kasurnya, memberi kode ia ingin bagian kepala kasur dinaikkan sedikit agar mudah bicara. Liana yang paham langsung menarik tuas dengan perlahan hingga kepala ranjang naik.

"Alhamdulillah," ucap Nata lirih.

Suasana mendadak hening, Liana memainkan jari sambil menunduk, matanya tidak mampu menatap lelaki yang berada disampingnya ini. Nata ingin menggaruk tengkuknya yang gatal, namun tangannya dirasa sakit sekali, tangan yg dibalut perban di bagian siku sungguh membuatnya risih, gulungan perban cukup tebal.

"Liana, haus."

Tanpa bicara Liana langsung menumpahkan air hangat seujung kuku, gelas kaca itu berubah menjadi panas, bukan gelas saja yang panas, pipi Liana juga ikut panas. Liana menyodorkan gelas kaca itu ke Nata, tapi Nata bergeming sembari menatap heran, bagaimana ia minum jika tangannya masih sakit begini.

"Liana, tangan saya sakit, minta tolong ya. Saya minjam kedua tangan kamu untuk minumkan saya."

"Mau kita minum segelas berdua juga gapapa ko, Kak," celetuk Liana tiba tiba. Kembali hening, beberapa detik, Liana baru sadar perkataannya begitu membuat jijik dan geli. Nata tersenyum tipis sedangkan Liana, gadis itu sepertinya ingin mencabut jiwa raganya sendiri.

Aduh Liana Liana, nyelup kek lu di jamban.

Membuang rasa malu, Liana perlahan melepas alat oksigen yang menempel di wajah tampannya Nata, "Minta maaf Kak," ucapnya sangat berhati hati.

Liana menyemangati dirinya sendiri di waktu menjadi kedua tangan pengganti Nata, sebenarnya ia sangat gemetar karena hanya ini moment pertama ia sedekat itu dengan Nata. Tidak lupa Nata membaca bismillah sebelum mulut ia tempelkan pada gelas untuk meminum air, beberapa tegukan Nata bernafas lega tenggorokannya sudah basah.

Liana kembali meletakkan air di atas nakas dan mengambil selembar tissue untuk mengelap mulut Nata. Nata padahal tidak memberi kode untuk minta tolong lagi, tetapi inisiatif Liana langsung bergerak cepat.

"Makasih, Liana."

"Sama sama, Kak."

Alis Nata mengerut, "Tumben manggil, Kak?"

Spontan Liana menggaruk alisnya yang tak gatal, "Kenapa? Mau di panggil Om? Yaudah deh."

Nata menghela nafas, "Nggak jadi, panggil Kakak aja."

"Nggak mau," Liana menghedikan pundak, "Om aja."

"Hadeh, iya iyaa." Pada akhirnya, Nata mengalah.

"Om," panggil Liana.

"Apa?"

"Om kalau naik motor lain kali hati hati, nanti kena musibah kaya gini lagi."

Senyuman Nata terbit usai mendengar penuturan Liana. Nata sadar semua kecelakaan ini karena perilakunya sendiri, waktu itu sedang ada panggilan bahwa temannya minta bantuan, habis balik mengajar, Nata langsung gas motor dan berakhir kecelakaan. Handphone Nata hilang pasca kejadian itu, ia juga tidak tahu motornya dimana, ingin memberi tahu orang tua pun, mereka sangat jauh. Nata seorang diri di kota ini.

Nata berniat tidak ingin memberi tahu kondisinya sekarang kepada siapapun kecuali Liana yang lebih dahulu tahu awal kejadian sampai dirinya berada di rumah sakit. Nata menunduk, matanya mengerling melihat Liana sedang sibuk mengaduk bubur untuk dirinya makan pagi. Beberapa hari ini, tidak ada makanan meluncur mengisi perutnya.

"Kak, ayo makan bubur. Mumpung masih hangat."

Nata menurut, ia hanya diam tanpa bicara sepatah kata, membiarkan Liana menyuapinya makan. Hanya suara dentingan sendok dan mangkuk berpadu. Seteguk demi seteguk bubur, perutnya dirasa sudah kenyang, Nata sebenarnya tidak suka rasa buburnya, tawar seperti bubur bayi, tapi itulah bubur yang disediakan perawat.


Anata!Where stories live. Discover now