1. MUNAQOSAH TAHFIZ QURAN

62 17 17
                                    

Bagi Liana Zahira, hari minggu adalah hari yang paling di tunggu tunggu. Tapi tidak dengan Minggu sekarang, Liana si manusia pemalas harus cepat cepat bersiap untuk menghadiri acara tahfiz Quran adiknya, Fadillah. Dia sebenarnya tidak ingin ikut ke acara, tetapi Ibunya, Dahlia memaksa untuk tetap ikut. Biar jadi motivasi katanya. Acara dimulai jam setengah delapan pagi, tetapi karena Liana lama bersiap siap, Fadil akhirnya pergi lebih dulu.

"Cepet, Kak! Adek udah berangkat kamu mandi belum selesai selesai dari tadi!!"

"IYA IYAA!"

Ah, Liana jadi mau balik tidur lagi aja. Nyawa sudah terkumpul dan waktunya ia harus memaksa raganya untuk kuat menghadapi air dingin di pagi hari. Ketika membuka kamar mandi sehabis mandi, Liana berdiri dengan gigi bergetar serta kaki merapat.

Dahlia menyembulkan kepala, "Lama banget siput!"

Liana cuma mendengarkan celotehan Dahlia yang tak henti henti. Setelah siap, Liana memasang masker dan pergi bersama. Karena acara Tahfiz, wajib semua perempuan memakai baju busana muslim, tamu tamu disambut rapi dengan makanan pembuka lalu dipersilahkan masuk menduduki bangku yang telah disediakan.

Sembari berjalan, Liana bertanya, "Bu, nanti ada dikasih makanan ga sama panitianya?"

"Ngga tau, siapa suruh ga makan di rumah tadi," jawab Dahlia cuek.

"Lah?" Ekspresi Liana kaya emoji batu, "kan Ibu yang nyuruh cepet cepet tadi."

"Makanya jadi cewe harus gesit!"

Liana hanya datar mendengar ucapan Dahlia barusan. Mikinyi hiris gisit. Cibirnya dalam hati.

Liana menganggukkan kepala ketika menyambut kotak makan pemberian panitia. Kian detik melaju, Liana tertinggal karena Dahlia sedikit berlari, Ibunya itu, takut sekali acaranya berakhir. Beberapa notif mengalihkan fokus Liana pada jalan, akhirnya ia berjalan tanpa melihat ke depan. Sedikit lagi Liana memasuki pintu gedung, lewatlah seorang lelaki bersenggolan dengannya.

Brukk!!

Liana terkejut spontan mundur satu langkah. Kotak makanan serta ponsel terhempas ke lantai keramik. Langsung jongkok, Liana mengambil kotak dan ponsel lalu berdiri seperti semula. Tangannya sibuk mengelap layar ponsel yang sedikit kotor.

"Kalau jalan itu pake mata, jangan liat hape terus."

Aktivitas Liana terhenti sejenak, "Eh lo kok nyalahin gue si?" Sambil ngomel pandangannya semakin ke atas, "Lo yang harusnya pakai maa-"

Lelaki itu sekilas menaikkan kedua alis.

"Taa," sambung Liana mendongak.

Baru kali ini Liana berhadapan dengan lelaki perawakan tinggi, sebelumnya tidak pernah kecuali dengan Abahnya. Tak ingin dusta, Liana merasa ada sedikit getaran ketika matanya dan mata lelaki itu sama sama bertemu.

Ukiran sempurna alis yang tebal, hidung mancung kaya perosotan, tatapan mata nan teduh. Siapapun yang memandangnya bakal adem. Bebanding terbalik dengan Liana yang dibawah matanya terdapat kantung mata menghitam, kaya gembel.

Ya Allah ganteng banget. Matanya, hidungnya, pipinya, rambutnya, alisnya, masyaAllah. Liana membatin.

Tak tak!

"Oii?" Lelaki itu menjentikkan jari di depan wajah Liana yang masih melamun.

"Hah?" Liana spontan menggeleng kepala sendiri supaya sadar kembali.

"Kalau jalan jangan sambil main hape, untung nabrak saya, kalau nabrak tiang palamu benjol."

"Alah taii! Lo juga-"

"Nata!" Panggil seseorang dari jauh.

"Ah iya, Ustadz. Saya ke sana!"

Terpotong lah omelan Liana, yang hendak diomeli sudah melarikan diri hingga tak telihat lagi punggungnya. Menghedikan bahu, Liana bergabung dalam acara meriah pembacaan ayat suci Al Qur'an. Mencari tempat duduk, Liana menemukan satu kursi kosong di pinggiran, segera Liana mendaratkan bokongnya di kursi tersebut. Tetapi kaki kursi berbahan plastik itu agak meleyot leyot.

"Ya Allah, ini kursinya gak sarapan apa gimana, nahan duduk aja gak uratan." Liana mengomel sendiri, memang sudah takdir ia dapat kursi begitu.

Sudah duduk tenang, Liana membuka kotak yang diberikan panitia tadi. Berisi air putih, risoles, pie buah serta kue kering. Mata Liana berbinar lantaran semua yang ada disitu makanan kesukaannya. Tidak apa apa dapat kursi meleyot, yang penting makanan enak.

Sembari jalannya acara, Liana melahap makanan ringan tersebut, ia tak memperdulikan acara di depan mata, ia hanya peduli dengan perutnya saat ini. Usai makan, Liana tenang perutnya sudah kenyang, segelas air pun habis sudah ia sedot.

Tak lama kemudian, pundak Liana diremas oleh Dahlia, menyuruhnya untuk lekas mempotret ketika adiknya Fadil tengah bernyanyi.

"Ayo cepet foto Fadil nanti kelewatan!"

Liana kewalahan, "Sabar, Bu. Fadil juga ga bakal ilang di atas panggung."

Liana mendengus, Dahlia sedari tadi menyuruhnya harus foto itu, foto ini, ditambah lagi sekarang kondisi handphone Liana tengah lambat respon, tidakkah Liana emosi.

Di tengah tengah acara bernyanyi, tangisan haru menyelimuti satu gedung bagai kabut asap. Ibu ibu maupun Bapak Bapak semuanya ikut menangis, terlebih lagi semua peserta di atas panggung. Liana bingung ingin menangis apa tertawa, ia jarang menangis, ia cepat menangis saat mengiris bawang merah. Masa iya di tengah acara ia harus mengiris bawang merah agar bisa ikut menangis juga?

"Acara selanjutnya adalah acara pemasangan kalung piagam penghargaan oleh kepala sekolah Tahfiz."

Ia angkat pandangan ke arah panggung dan benar saja, lelaki itu yang bicara barusan. Pembawa acara yang membuat semua wanita full senyum.

Awalnya Liana memang tidak perduli dengan kejadian tadi, tetapi ia sedikit terkesan, entah apa hatinya sedikit terguncang. Selang beberapa menit, lelaki tadi masuk lagi dan menuju belakang layar proyektor. Liana mengira itu panitia pelaksana, rupanya pembawa acara.

Acara pemasangan kalung piagam pun dimulai. Dimulai dari barisan paling kiri hingga kanan, satu persatu anak bin orang tua dipanggil. Tibalah nama adik Liana dipanggil, Liana siap siap merecord moment Fadil dipasangkan kalung piagam oleh kepala sekolah.

"Adinda Fadillah Ramadhan, putri dari Bapak Ardian."

Mendengar itu Liana terkejut, "Lah kok putri, bukannya putra ya harusnya?"

Tak ambil pusing, yang penting ia sudah menjalankan perintah Dahlia, merecord saat adiknya dipasang piagam serta diberi piala. Bukan hanya Fadil yang dapat piala sebagai penghargaan santri terpintar, melainkan semua peserta mendapatkan piala. Alasannya adalah, jika hanya santri terpintar saja yang mendapat piala, maka takutnya santri lain menjadi iri dengki, menangis, dan frustasi.

Usai acara santri, tiba acara berfoto untuk semua panitia pelaksana. Hari itu, menit itu, detik itu. Liana tersihir, panah asmara menembak hatinya, sedikit demi sedikit menghancurkan benteng besi kokoh dan mengirim sinyal cinta.

Lelaki yang ia lihat kini berjalan menuju panggung, ikut berfoto bersama yang lain. Jantung Liana mulai tidak karuan, sesekali menggaruk kepala dan menangkup kedua pipinya sendiri, ia merasa wajahnya panas karena hal sepele. Kemudian Liana melihat lelaki itu turun dari panggung, ia berpejam dan membuka mata kembali seraya berucap.

"Anak yang berhasil memporak porandakan hatiku ini, dia orangnya."

♡♡♡

Gomen kalau ada kekurangan, saya masih amatir wkwk. Klik vote nya yah broww

Anata!Where stories live. Discover now