13. Obat

17 6 0
                                    

Harun melihat ke sekeliling, tak ada tanda tanda gadis itu muncul, padahal sudah waktu pembelajaran dimulai. Bangku gadis itu kosong menimbulkan banyak pertanyaan di kepala Harun.

"Kemana nih si curut?" Gumamnya pelan.

"Assalamualaikum," sapa ustadz Nata memasuki kelas, membenarkan peci yang sedikit miring di kepala.

Pembelajaran dimulai, Harun melirik kursi Liana, ia merasa sepi, tak ada yang ia ganggu, tak ada yang dijahili. Tetapi, jika Harun menjahili, Liana akan membalas dua kali lipat. Aduh, Harun jadi teringat waktu ia dikejar Liana karena sengaja menganggu waktu gadis itu fokus menghafal.

"Ustadz, izin bertanya," Haura mengangkat tangan, "Liana ke mana?"

Sangat tepat, satu kelas menanti pertanyaan itu, akhirnya sudah terwakili oleh Haura. Nata berhenti sejenak, "Liana sakit, besok InsyaAllah turun katanya."

Mendengar penuturan Nata, Haura dan Harun cemberut. Satu jam kemudian, ketika Nata berjalan menuju ambang pintu, dengan kedua netra yang fokus pada jam tangan, ia kembali menatap ke depan.

"BHAAA!!"

Nata memegang dada, "Astaghfirullah, Liana!"

Mendengar nama Liana disebut, satu kelas mengalihkan pandangan ke arah Nata. "Liana turun sekolah, ya?" tanya Haura, manik matanya berbinar.

"Ustadz, pasti mau ngambil absen kelas kan, di kantor?" Liana menerka nerka sembari menunjuk Nata.

Nata mematung, tidak merespon. Ia terkejut karena melihat benjolan di dahi Liana nampak besar dari sebelumnya, dan itu karena ulahnya. "Itu, dahi kamu," tunjuknya, "benjolnya gede amat."

Liana menghela nafas, "Iya tau kok Ustadz, kemaren nubruk tiang. Jadi mau ke kantor ngga? Kalo jadi, biar saya yang ambilin absennya." Gadis itu menepuk dada sendiri.

Tanpa menjawab, Nata mengangguk. Dengan segera Liana melesat ke kantor dengan tas yang masih tersampir di bahu. Gadis itu, meninggalkan senyuman lebar di wajah Nata. Ia bagai matahari, tak ada Liana, rasa suram hari yang dijalani.

Karena kantor sunyi, Liana berjalan pelan, berjingkit jingkit dengan mata yang melirik kesana kemari kaya maling. Sampai di depan meja Nata, Liana menemukan buku absen, namun saat hendak meraih, ia kebetulan kompak menyentuh buku tersebut dengan seseorang. Liana kaget, ternyata Indah.

"Liana, mau ngapain?" sapanya ramah, namun tak melepaskan tangannya dari buku absen.

"Ini, Ustadz Nata suruh saya ambil buku absen," kekeh Liana.

Alis Indah menukik ke bawah, "Itu apa yang di dahi kamu?"

Sudah ia duga, pasti menanyakan masalah benjolan, "Ga sengaja kemaren nabrak tiang, Ustazah."

Indah tersenyum paksa, melepaskan tangan, membiarkan Liana melenggang pergi. Awalnya Indah tau, kehadiran Liana di kantor pasti menuju meja Nata, dan setiap hari, Nata selalu kelupaan membawa buku absen ketika hendak mengajar. Pudarlah senyum Indah ketika punggung Liana tak terlihat lagi, padahal ia sudah menyiapkan diri mengantarkan buku absen ke Nata.

Di depan kelas, Nata bolak balik, dengan gaya melipat kedua tangan di depan dada. Ia terkejut saat berbalik Liana menepuk lengan Nata dengan buku absen. Ketahuilah, hanya Liana yang berani seperti itu.

"Cepet amat," ujar Nata.

"Biasa, dulu pernah lomba lari balapan sama super dede."

Menyunggingkan senyum, Liana masuk ke dalam kelas dengan tangan melambai lambai bagai artis mau konser. Harun beserta Haura langsung berdiri, menyambut Liana heboh. Kening mereka sama berkerutnya seperti reaksi Nata, "Ga usah heran, kena musibah kemaren. Gue oke!" Serunya mengacungkan tiga jemari.

Harun bertanya, "Gimana, Li? Udah hafal Al Kahfi?"

Liana memutar bola matanya malas, "Aduh jangan nanya masalah hukuman gue, gue ini rada rada amnesia!"

"Bukan amnesia kamu mah," timpal Haura, "emang dari zigot kamu sering lupaan."

Harun menjetikkan jari, "Nah ya itu. Gue pikir ni anak memang butuh serum anti tolol."

Liana langsung menendang kursi Harun, "Lo diem atau gue telen?"

Waktu berlalu, di ruang sholat, Harun menepuk mik di samping mimbar, kali ini ia kena jadwal adzan. Ketika sudah waktunya, dengan lantang lelaki itu melantunkan adzan dengan suara khasnya. Suara itu menggetarkan hati bagi siapa yang mendengarnya, Harun, lelaki itu jika sedang adzan, mendadak jadi crush para santriwati.

Sembari mendengar adzan, ekor mata Liana sedikit melirik ke Haura, gadis itu tengah memejamkan mata, menikmati betapa indah suara Harun. Ngomong ngomong, Liana sering memperhatikan tingkah laku Haura, temannya itu, jika mendengar Harun bicara, pipinya tiba tiba merah merona. Ada apa sih sebenarnya?

Jika dipikir pikir, sosok Harun yang notabene ketua kelas, adalah idaman bagi setiap santriwati. Harun berada di urutan kedua setelah Nata, Nata tetap menjadi nomor satu lelaki paling di damba dambakan satu sekolah tahfiz, nomor satu di hati Liana dan gadis lainnya.

Liana menyenggol lengan Haura, "Heh, lo nikmat banget kayanya denger suara Harun lagi adzan."

"Aku suka Harun," ceplos Haura. Mata Liana terbelalak, mulutnya ternganga tidak menyangka.

Gantian Haura yang terbelalak, "Ma-maksud aku suaranya. Iya, suara Harun yang aku suka." Haura merutuki dirinya sendiri, mengatakan hal yang seharusnya tidak ia katakan. Berulang kali ia menepuk bibirnya.

Haura bangke. Batin Haura.

Liana nyengir kuda, "Serius? Gue bilangin sama Harun, ya?"

Haura spontan menarik lengan Liana, "Jangan ih! Aku tepok nih benjolan kamu." Ia ancang ancang dengan gaya ingin memukul.

Liana langsung melindungi kepalanya, "Main tepok aja," Gadis itu memicingkan mata, "berani nepok gua gampar lo, Hau."

♡♡♡

"Liana!"

Pemilik nama memalingkan wajah ketika namanya disebut oleh bariton yang paling ia kenal di telinga.

"Ustadz?" Wajahnya penuh tanda tanya ketika Nata mendatanginya berlari dan berakhir ngos ngosan.

Nata mengulurkan tangan, memberikan obat, "Ini, ada obat salep."

"Buat siapa, Ustadz?" Kening Liana mengernyit.

"Buat Ibu kamu," Lelaki itu berkacak pinggang, "yaiyalah kamu! Emang siapa lagi disini ada santri yang palanya benjol? Cuma kamu doang astaghfirullah."

Liana terpaku menatap Nata beserta emosi yang menyambar nyambar. Gadis itu cepat cepat mengangguk dan melenggang pergi bagai di kejar hantu. Masih diam di tempat, Nata mengusap wajah menatap nanar punggung Liana, berharap benjol itu cepat mengempis.

Brakk!

Bukannya mengucap salam, Liana malah jatuh tersandung di depan pintu. Menimbulkan satu keluarga memusatkan perhatian pada Liana yang tengah tersungkur. "Awas jatoh," ujar Adrian sambil memakan kuacinya.

Fadil berjalan lantas membantu Liana berdiri, "Ada apaan, Kak? Muka panik banget."

"Dikejar hantu tadi," dusta Liana berjalan menuju kamar sembari memegang pinggangnya.

Di kamar, Liana meringis kesakitan ketika obat salep itu ia aplikasikan pada benjolannya. Berharap ada perubahan setelah obat itu bereaksi. Usai mengoles, Liana duduk di pinggir kasur, menatap salep yang di berikan Nata. Liana senang, Nata peduli padanya.

SEKTE KERAMAT

Harunnjing
Siapa yang jidatnya benjol angkat tangan!

Liana
🤚

Liana
Setan setan.

Haura comel
Liana, nggak boleh gitu. Akhlak mu mana?

Harunnjing
Pas pembagian akhlak kayanya si Liana healing nyari buah khuldi.

Liana
Akhlak gue? Ada tuh di keranjang shopee.

Haura comel
Ya Allah...

Anata!Where stories live. Discover now