12. Balas dendam

18 6 0
                                    

Malam hari, ketika hujan lebat. Liana memilih duduk di kursi panjang di depan kelas Shafa. Semua santri dan pengajar sudah pulang. Liana sangat menyukai hujan, memandangi titikan air dari langit selalu membuat tenang. Ia melirik jam tangan sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh, tetapi Adrian masih belum menjemputnya.

Bulu kuduknya sedikit berdiri karena sekolah sangat sunyi. Tidak ada teman, hanya ia seorang diri. Liana terlonjak setelah melihat sosok Nata tengah keluar dari seketariat Tahfiz. Tak tahu mengapa, Liana ada keinginan untuk menjahili. Liana mengeluarkan ketapel andalan, segera meluncurkan batu kecil hingga mengenai punggung Nata.

Tuk!

"Aduh!" Nata meringis.

Ia langsung memalingkan wajah, tak ada siapa siapa, padahal Liana sembunyi di balik tiang. Sedikit demi sedikit Liana mulai menyembulkan kepala, melihat apakah Nata masih di berada di tempat atau sudah pergi. Matanya terbelalak karena lelaki itu sudah hilang bagai asap.

"Lah, Ustadz Nata ke mana?" Ia memilih kembali duduk di kursi panjang lagi dengan gaya bersila.

Tak!

Spontan Liana menoleh ke arah samping. Lampu yang menerangi lorong jalan satu per satu mati sendiri, kejadian terus berlanjut hingga lampu yang di atas kepala Liana saja tidak mati. Liana mendadak tegang, tidak tenang duduk, ia memilih berdiri. Tangannya merogoh ponsel dan menyalakan lampu senter, menyorot ke arah kegelapan.

Tanpa sadar Liana melihat sesosok bayangan hitam berjalan ke arahnya. Berjalan dengan arah ke kanan dan ke kiri, tak tentu arah. Tiba tiba juga suaranya mendengar lagu lengser wengi dari jauh. Bertepatan dengan itu, ponsel Liana habis baterai dan mati total.

Seperti di kejar, Liana berlari terbirit-birit sambil menengok ke arah belakang, sosok hitam itu semakin mengikutinya. Karena berlari terlalu kencang, ia tidak sempat berhenti dan menabrak tiang besi tepat di depan matanya.

Tung!

Bunyi itu, ah sangat nyaring. Liana pingsan di tempat.

♡♡♡

Liana terbangun dari tidur ketika adzan subuh berkumandang. Bangun bangun ia sudah berada di atas kasur dengan selimut yang membentang di sekujur badan. Niatnya mengambil wudhu, tetapi ia malah berdiri di depan cermin, tidak ketinggalan dengan mimik wajah yang tertegun.

"MUKA GUEEEE!!!"

Liana berteriak senyaring nyaringnya, membuat Fadil terkejut setara kamarnya bersebelahan dengan sang Kakak. Fadil bangun, segera mengetuk pintu kamar Liana.

"Astaghfirullah, Kak. Kenapa teriak subuh subuh gini?" tanya Fadil di balik pintu.

Liana membuka kenop pintu dengan wajah menahan tangis. Fadil mengulum tawa ketika melihat benjolan beserta memar di bagian dahi Liana.

"Kenapa ketawa?" tegur Liana kesal.

"Di jidat Kaka benjolannya kaya telur puyuh."

Liana spontan mengerjab, sangat polos Fadil menjawab pertanyaan saudaranya itu. Liana tak terima, ia langsung menoyor kepala Fadil hingga lelaki itu meringis kesakitan.

Liana langsung membanting pintu membuat Fadil terkejut, "Alah, Kak. Fadil udah jujur kenapa kepala Fadil ditoyor?" ucap Fadil sembari berjalan ke dalam kamarnya dan mengunci pintu.

Liana duduk di kursi, berhadapan dengan cermin. Kenapa sih harus ada benjolan segede telur puyuh, bagaimanapun nantinya ia sekolah dengan penampilan seperti itu. Ia benar benar tidak ingin bertemu siapapun sekarang, ia mengurungkan niat untuk pergi sekolah.

Membuka pintu, Liana menuju kamar mandi pelan.
Namun, langkahnya terhenti tepat di depan kulkas, ia segera mengambil es batu dan menempelkannya pada dahi. Liana ingin berteriak sejadi jadinya, benjolan di dahi itu sangat sakit ketika menyatu dengan es batu. Ia mengepalkan tangan, lalu akhirnya berteriak tanpa suara.

Pagi hari, ketika Liana bersiap siap pergi sekolah, ia sempat bertanya pada Dahlia, "Bu, siapa yang anter Kakak ke rumah?"

"Ustadz Nata."

Jantung Liana loncat satu detik, "Ga mungkin!"

Dahlia menatap Liana dengan wajah tidak terima, "Ya masa ke rumah jalan sendiri, sih? Orang Kaka pingsan juga kemaren."

"Benar juga," pikir Liana, "terus Ibu ga nanya gitu alasan Kakak pingsan sampai benjol segede gaban kaya gini?"

Sambil mengaduk teh hangat, Dahlia menghela nafas, "Kenapa jadi pingsan sampe benjol, Kak?"

"Kakak liat hantu kemaren, Bu. Kakak kaget, terus lari sampe nabrak tiang," ujar Liana kesal.

Dahlia menggeleng kepala, "Perasaan Kakak aja kali, mana ada hantu di sekolah tahfiz."

Liana tak terima, "Bener, Bu! Ada hantu!"

"Kakak hantunya," timpal Adrian datang tiba tiba.

Terdengar bunyi cekikikan dari Dahlia dan Fadil, mereka berdua sangat suka menertawakan Liana.

"Apa? Jangan ketawa!" ucap Liana disertai semburat merah dipipi karena malu.

"Bah, apa bener Ustadz Nata yang anter Kakak pulang?" Ia sangat penasaran apa benar yang dikatakan Ibunya.

"Iya," Adrian mengangguk, "ngantar pakai taksi."

"Terus Ustadz Nata ada bilang apa ke Abah?"

"Katanya Kakak pingsan di depan kelas," sahut Adrian apa adanya.

Liana manggut-manggut saja mendengarkan, tidak menyangka Nata yang sering ia jahili, ternyata berbuat baik sejauh ini. Tidak membiarkan dirinya pingsan di depan kelas sampai pagi. Liana tersenyum tipis, ia berjanji tidak akan mengusili Nata lagi, InsyaAllah.

Sampai di sekolah, baru saja memarkir sepeda di parkiran, Liana mendapat tertawaan orang orang sinting, Gean salah satunya. Mereka tertawa melihat dahi Liana dibalut kapas putih beserta hansaplast yang merekat dengan kapas. Sambil melewati mereka, Liana acuh tak acuh saja, malas melihat wajah para lelaki itu.

"Apa tuh yang ada dijidat? Gede banget," tegur salah satu dari mereka.

Sapaan itu memunculkan tawa dari para lelaki yang nongkrong di parkiran, dan tentu saja menyulut amarah Liana. Berulang kali ia menyabarkan diri sendiri di dalam hati, karena jika berurusan dari salah satu mereka, pasti Gean yang bakal maju paling depan.

♡♡♡

Adrian heran mengapa Liana tak keluar kamar beberapa jam. Ia berjalan, berdiri di ambang pintu kamar anaknya, "Kak, ga sekolah?"

"Kakak hari ini ngga turun aja deh, Bah" ucapnya dengan suara serak, "Badan Kakak panas."

"Yaudah," Adrian membuang nafas berat, "Abah telpon ustadz Nata nanti."

Tak ada sahutan lagi dari Liana. Adrian tahu, jika putrinya sakit, gadis itu selalu mengurung diri di kamar. Ia takut ada yang tertular. Di balik kamar, Liana menyentuh benjolan di dahi, mengeluh sudah pasti, apalagi jika sedang sholat, ketika benjolan bertemu dengan sajadah, rasanya seperti dihantam palu godam.

Di sisi lain, Nata sedang bersiap siap berangkat mengajar, ia bertanya-tanya apakah benjolan di dahi Liana sudah memudar atau belum. Memikirkan itu membuatnya tertawa kecil karena hal itu sangat lucu. Baru saja Nata membuka kenop pintu, ponselnya berdering menampilkan nomor tak dikenal.

"Assalamualaikum, halo?"

"Walaikumusalam Ustadz, saya Abah Liana," sahut Adrian di seberang sana.

Nata agak terkejut, "Oh iya, Pak. Ada apa?"

"Ini, si Liana sakit. Izin ngga turun dulu, mungkin besok InsyaAllah turun sekolah lagi."

"Ah iya, Pak. Semoga Liana cepat sembuh."

"Baik, Ustadz. Terimakasih, wassalamu'alaikum."

"Walaikumusalam."

Menutup telpon, Nata mengulum bibir. Ia berfikir, apakah pembalasan kemarin sangat parah sehingga Liana sakit sampai tidak turun sekolah.

Anata!Where stories live. Discover now