17. Ban bocor

11 4 0
                                    

Hari demi hari, usahanya melupakan gadis tambatan hati bernama Indah, lambat laun mulai bisa terlupakan. Nata tak lagi menaruh harapan tinggi, ia takut kecewa, ia takut rasa cintanya sia sia. Merapikan baju, kedua tangannya mengusap wajah bekas air wudhu, bibir merah muda alami, matanya bersih tanpa ada guratan merah sedikitpun.

Ia menaruh tas selempang di dada, lalu memasang helm. Keluar dari kost, Nata mengendarai sepeda motor dengan santai, karena waktu masih panjang, ia yakin santri kelasnya belum pada datang mengisi kelas. Tepat di depan komplek perumahan, Nata merasa aneh dengan ban sepeda motornya, terasa berat dan stang tidak terkontrol.

Nata spontan berhenti, ia menunduk mengecek ada apa dengan roda belakang. Menghela nafas berat, Nata menepuk dahi tatkala melihat bannya bocor. Ia pun mengambil ponsel minta bantuan Harun, dan sialnya ponsel itu tertinggal di rumah.

"Hai Ustadz!" Sapaan gadis itu sangat ceria, "sepeda motor Ustadz kenapa?"

Nata mengerjab, menjenguk gadis itu melotot. "Kena musibah nih, ban saya bocor."

Liana menumpukan dagunya di atas stang sepeda, ia berfikir apa ada bengkel terdekat di area perumahan.

Sesaat ia teringat, "Ustadz!" Panggilnya membuat Nata terlonjak, "saya tau bengkel yang deket."

"Anterin saya ke sana."

Pada akhirnya Liana menggiring dengan sepeda, sedangkan Nata, mendorong sepeda motornya. Mereka mengobrol hal kecil, mulai dari Liana yang menceritakan tentang kesukaannya terhadap kue brownies, sampai menceritakan mimpi ia jadi kipas angin. Nata mendengarkan saja celotehan Liana, membahas dari sabang sampai merauke.

Sesampainya di bengkel, bengkel itu sangat ramai pelanggan. Bukan Nata saja yang bannya bocor, pelanggan yang lain juga bannya bocor.

Nata menghampiri owner yang tengah mengelap keringat, "Pak, ban saya bocor. Tambalin ya, kalau lubangnya terlalu banyak, ganti ban aja."

"Nggapapa nunggu? Soalnya pelanggan yang lain keluhannya juga bocor ban."

Nata menggeleng, "Engga, Pak. Motor saya, saya tinggal di sini. Saya harus ke sekolahan. Nanti saya balik lagi sekitar jam sembilan."

Usai bicara dengan owner bengkel, Nata menghampiri Liana yang menunggu dengan muka datar. "Saya numpang, ya? Nanti saya bayar."

Liana menyipitkan mata ke arah Nata dari bawah sampai atas, "Ustadz bisa kan, naik sepeda?"

Nata menepuk dahi lagi, "Ya Rabb, ampunilah aku."

Sedikit perdebatan masalah sepeda, akhirnya Liana terdiam seribu bahasa dibonceng Nata, untung saja sepeda lipatnya ada boncengan belakang. Jika tidak ada mau duduk dimana ia nanti? Di depan? Lebih baik ia jalan kaki, membiarkan Nata memakai sepedanya sampai ke sekolah. Sambil dibonceng, Liana memeluk helm milik Nata, pelindung kepala yang sangat Nata sayangi, bahkan jika ada goresan sedikitpun Nata putus asa dan tak rela.

"Helm Ustadz bagus ya, hehe."

Nata yang berada di depan mulai menyipitkan mata, "Jangan sentuh kacanya," titah Nata tegas.

Terdengar cekikikan dari boncengan belakang, gadis itu membuat was was. "Saya pegang, boleh?"

"Jangan."

"Boleh."

"Hish, jangan!"

"Yah, udah di pegang." Liana membual.

Citttt.

Nata emosi, "Sini helmnya!" Liana dengan wajah tak bersalah memberikan helm dari samping. Tanpa basa basi Nata langsung memasang helm ke kepala. Gadis itu turun dari sepeda, menyampingi Nata yang siap siap mengayuh pedal sepeda. Liana keheranan.

Anata!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang