4. Safrah amal

31 10 3
                                    

Dua bulan berlalu, Liana mendapat kabar bahwa sekolah tahfiz Fadil mengadakan acara safrah amal. Liana secara mentah mentah menolak ajakan adiknya untuk datang, ia sudah hendak melupakan lelaki itu, yang pertama kali bertemu memarahinya.

Dari ambang pintu masuk, Dahlia berseru kabar gembira, "Besok acara safrah amal, Ibu dapat tiga kupon, satu orang satu kupon. Kaka mau ikut ngga?"

Liana menggeleng kepala sambil berkata, "Ngga usah, Kaka di rumah aja, capek."

Dahlia tetap membujuk, "Kaka harus ikut! Gantiin Abah, ngga ada penolakan."

Mau tidak mau, Liana harus menuruti kata Dahlia dengan hati terpaksa. Liana sebenarnya tidak ingin ada hal yang terkait dengan lelaki itu, bahkan tempat kejadian dimana Liana menaruh hati. Hendak berdalih, tapi tak bisa.

Pagi hari, Liana berangkat ke gedung tahfiz. Memakai busana muslim dibalut hijab serta masker yang tak lepas dari wajahnya. Ketika menuju gedung, banyak laki laki hadroh yang berkumpul di dekat gedung. Harum dari perkumpulan para lelaki menusuk hidung, sesekali Liana bersin karena bau wewangian mereka agak menyengat di tengah kerumunan.

Banyak lelaki yang tampan berdiri disana, biasanya jika ada lelaki tampan, ia otomatis curi pandang. Tapi kali ini tidak. Sekarang dirinya merasa bahwa semua lelaki hambar. Saat menunggu antrian makanan, Liana merasa tidak ada semangat sama sekali, padahal ini yang ia nanti nantikan, makanan kesukaan sudah banyak tersusun rapi di depan mata.

Liana mengucek mata, membuang kotoran mata serta memperjelas penglihatan. Ada satu yang menarik perhatian, laki laki itu, berjalan turun dari gedung. Hah, itu cowo yang gue cari!! Liana membatin sembari mengumpulkan nyawa, karena ia sangat mengantuk. Liana melihat segelas air putih yang belum terbuka. Entah itu punya siapa, Liana langsung merobek plastiknya dan menyiram segelas air itu ke wajah sembari membungkuk.

Setelah segar, Liana kembali melihat ke arah lelaki itu lagi. Dugaan benar, mau penglihatan seburam apapun, jika lelaki itu yang muncul, maka settingan matanya berubah menjadi HD. Jantung tiba tiba dag dig dug.

"Alhamdulillah ya Allah Alhamdulillah, terimakasih banyak ya Allah, love you."

Rasanya ingin jungkir balik saja, ia cengar cengir kaya orang gila. Tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasa, dibilang ingin melupakan tapi masih ada rasa. Perasaan Liana masih abu abu, sulit untuk dijelaskan. Selang beberapa menit, lelaki itu masuk lagi ke dalam gedung, meninggalkan mood bagus bagi seorang Liana yang tengah dilanda galau.

"Kaka!" Dahlia memanggil. Karena suasana hati membaik, ia menghampiri Dahlia sambil meloncat loncat. Dahlia melihat sang anak datang bagai dihiasi baground penuh bunga.

"Kenapa, Bu?"

Wajah Liana memancarkan aura kesenangan, tak henti henti ia menarik kedua garis bibir, gigi kelincinya sedari tadi agak kering. Iya, cengar cengir sampai gigi pun jadi kering. Semangatnya menggebu gebu.

"Tuh, bantu panitia motong lontong buat sate."

Liana langsung bergabung ke sebuah ruangan yang biasanya tempat santri siang mengaji. Liana tidak kenal siapapun disana kecuali ustad Yusuf, ustad Yusuf terlihat sangat sibuk memotong lontong sampai masker naik ke mata pun tak sempat dibenarkan.

Salah satu panitia perempuan bertanya dengan menodongkan pisau ke arah Liana, Liana terkejut lantaran wajahnya sangat serius.

"Buset ini gue ditodong, baru join ya Allah." Monolog Liana dalam hati.

"Kamu kenapa ngga jaga kasir?"

Dahi Liana mengerut, ia tidak mengerti, ia datang hanya untuk membantu. Sudah ditodong pisau dapur.

Anata!Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora