Dua Puluh Sembilan

Start from the beginning
                                    

Mencibir pelan, namun tak urung mengikuti perintah bunda ratu duduk di sofa sembari menatap ketiga orang itu. Rama memilih mengeluarkan ponselnya hendak menghubungi tangan kanannya yang hari ini kembali masuk setelah hampir dua minggu cuti. Hari ini ia memilih libur pergi ke kantor dan menyelesaikan pekerjaannya setelah pulang dari rumah sakit.

"Nggak ada kata libur bekerja." Suara itu seperti mantra terkutuk bagi seorang Rama. Istrinya sudah seperti mbah dukun yang bisa membaca isi pikiran orang dengan mudah. Ah, bukankah seorang istri selalu mengetahui segala isi pikiran suami?

"Iya, Bun, iya. Ini mau berangkat." Rama mencibir sebentar sebelum menghampiri sang istri untuk berpamitan. Dilanjut Louren dan Jevan yang mencium punggung tangannya. "Jika butuh sesuatu, bilang pada pengawal depan. Makan siang nanti Ayah akan kembali melihat keadaan kalian. Ayah berangkat."

Jevan bergeming. Tatapannya tidak terlepas sedikitpun dari sosok pria yang kini menghilang di balik pintu. Ia bisa merasakan bagaimana hangatnya keluarga Rama. Suasana seperti ini yang dirinya rindukan, dimana saling melemparkan candaan dan perhatian satu sama lain. Keinginannya tidak banyak. Jevan hanya ingin memiliki keluarga yang harmonis dan saling menyayangi satu sama lain.

Hatinya mencelos saat mengingat semua perkataan dan perlakuan Yudha terhadapnya. Sang ayah berubah sejak bundanya memilih pergi bersama seorang pria yang bisa menjamin semua kebutuhan hidupnya. Ia merindukan pelukan hangat dari sebuah keluarga, bukan pukulan penuh dendam seperti yang dilakukan ayahnya.

Satu pertanyaan hinggap di pikirannya sejak awal bangun dari koma. Apakah ayahnya datang saat ia terbaring tak berdaya dengan banyak alat medis yang terpasang di tubuhnya? Jevan akan sangat bahagia apabila mengetahuinya.

Tepukan pelan di bahu berhasil menarik Jevan dari alam bawah sadarnya. Mengerjap pelan saat Louren menatapnya seolah bertanya 'ada apa?' "Boleh saya tanya?"

"Silahkan." Bukan Louren yang menyahut, melainkan Vinja.

"Saat koma, apakah ayah saya datang menjenguk?"

Baik Louren maupun sang bunda, keduanya membeku. Ibu dan anak itu bungkam dengan pertanyaan itu. Rasanya terlalu sulit menjawab dan berakhir menyakiti hati Jevan. Rasanya akan sia-sia berbohong pada lelaki itu sebab semua orang tahu bahwa mustahil seorang Yudha rela berkunjung ke rumah sakit dengan tujuan menjenguk sang putra yang dibencinya.

"Eummm, saya masih lapar." Jevan mengalihkan pembicaraan. Tanpa harus menjawab pun ia paham bahwa ayahnya tidak mungkin mau repot menjenguknya. Menghindari suasana yang canggung, Jevan memilih untuk melanjutkan makannya meskipun ia tidak lagi berminat menyantap apapun.

Vinja yang tak kuasa melihat perubahan mimik wajah Jevan pamit hendak pergi keluar sebentar. Sebagai seorang ibu, ia mengerti tatapan itu. Sedari awal datang, dirinya melihat semua tingkah laku Jevan. Dari mulai tersenyum karena kedatangannya bersama sang suami, tatapan iri terhadap kehangatan keluarganya, lalu dalam sekejap berubah menjadi pandangan kosong, dan berakhir dengan senyuman tipis seolah mengatakan 'semua baik-baik saja'.

Ya, Vinja mengetahui semuanya. Ia paham dengan apa yang dirasakan Jevan saat ini. Tidak ada yang bisa dirinya lakukan selain memberikan perhatian dan berharap semuanya akan berlalu. Ingin rasanya mendengar kabar bahagia dari lelaki malang itu. "Tuhan, berilah kebahagiaan pada anak itu," gumamnya menyandarkan punggunggnya pada sandaran kursi panjang di depan ruang inap Jevan.

"Bunda," panggil Louren membuyarkan lamunan wanita dengan surai panjang. "Ada masalah?"

Menggeleng pelan seraya menarik kedua sudut bibirnya membentuk sabit. Vinja bangkit dan kembali masuk ke dalam ruang inap, tidak ingin putrinya khawatir. "Bunda nggak apa-apa, ayo masuk."

JevandraWhere stories live. Discover now