Part. 3

339 28 0
                                    

Baru saja Seokjin bernafas lega, tapi sekarang sudah ada tumpukan berkas lagi yang harus dia tanda tangani. Oh tubuhnya terasa remuk sekarang, tangannya juga kebas karena sedari tadi tidak berhenti memberikan paraf pada ribuan lembar kertas, yang ada dipikirannya sekarang adalah menikmati kasur empuk dengan secangkir es jeruk ditemani dengan film kesukaannya, jangan lupakan Jukyeong juga, tapi itu tidak mungkin tumpukan kertas yang tak kunjung berhenti berdatangan membuat Seokjin harus tertahan di sini.

3 hari sudah dia menjalankan cuti, dan 3 hari pula tugasnya sebagai seorang direktur menumpuk bagaikan bukit. Sejak datang Seokjin hanya duduk di singgasananya. Bahkan dia belum sempat untuk minum dan itu membuat tenggorokannya sakit.

Waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Tangannya terulur mengeluarkan kotak makan yang Jukyeong siapkan untuknya. Sebelum membukanya Seokjin sedikit tersenyum mengingat tadi pagi sangatlah berkesan untuk pagi pertamanya sebagai seorang kepala rumah tangga, dan berharap akan terus seperti itu.

Sementara itu sebelum Seokjin membuka bekalnya pintu lebih dulu terbuka membuat Seokjin terpaksa mengurungkan niatnya untuk membuka bekal dan menahan sedikit rasa laparnya, dia pikir itu seorang clien namun salah saat di balik pintu menampilkan sosok tubuh yang tidak terlalu tinggi darinya. Matanya seperti hanya sebuah garis lurus saat dirinya tersenyum menampilkan deretan giginya, Seokjin tahu dan memutar bola mata. Pikirannya salah, jika tahu dia yang akan datang Seokjin tidak harus susah-susah menahan lapar.

"Selamat pagi tuan direktur kami yang sekarang sudah menikah" ucapnya sembari menghampiri Seokjin yang masih diam "wow sepertinya itu bekal, dari istrimu ya? Tentu saja karena tuan direktur yang satu ini tidak pernah membawa bekal sebelum-sebelumnya" lanjutnya seakan menggoda Seokjin yang menatapnya datar. Aneh pikir Seokjin dia yang bertanya tapi dia sendiri yang menjawab, Seokjin hanya bisa geleng kepala melihat kelakuan teman satunya ini

Sementara pria itu masih tersenyum pun dengan unjuk giginya. Seokjin merasa jengah dengan temannya yang satu ini dia benar-benar terlihat seperti sedang kesurupan dengan sikapnya yang aneh menurutnya "berhenti tersenyum seperti itu kau terlihat sangat mengerikan" ucap Seokjin kesal

"Hey hey bung, jangan kesal seperti itu. Baiklah aku berhenti, kau ini tidak mengerti sih"

"Memangnya apa yang tidak aku mengerti tuan Park Jimin?"

Orang yang dipanggil Park Jimin pun kembali tersenyum namun kini senyumannya tidak selebar sebelumnya, dirinya menghampiri Seokjin dan mendaratkan bokongnya di sudut meja kerja Seokjin

"Hyung aku melakukannya karena aku merasa bahagia"

Seokjin mengernyit "bahagia? Kenapa?" Tanyanya

Apa dia juga menikah? Pantas saja tidak datang ke acara pernikahan ku, awas saja kau bantet jika itu benar__

"Karena Hyung ku yang sudah mulai tua ini akhirnya menikah, wah aku sungguh tidak menyangka"

Bugh

Satu Bogeman berhasil Seokjin layangkan di lengan kiri Jimin membuat Jimin terjatuh ke lantai sambil meringis nyeri "Hyung kenapa memukulku, ini sakit aishh" gerutunya dengan wajah kesal yang dibuat-buat

"Berhenti memanggilku tua, aku tidak setua itu! Mengerti dasar bantet"

"Yak!" Tak terima di sebut bantet, Jimin pun berniat melayangkan satu pukulan pada Seokjin namun urung dan memilih menurunkan kembali tangannya "ah sudahlah" Jimin lebih mengalah rupanya "kenapa dia selalu marah jika aku mengatakannya tua padahal aku tidak salah hanya mengatakan yang sebenarnya huh" gerutunya pelan tak terdengar, lagi kini bibir tebalnya mengerut seperti seorang anak kecil yang merajuk

"Hentikan, itu menjijikan!" ucap Seokjin dingin menatap Jimin dingin pula

Jimin pun berhenti karena tak mau terus-menerus berdebat dengan Seokjin hanya karena masalah kecil, kini atensinya beralih pada figura foto yang berada di meja Seokjin

Your Eyes Tell [Kim Seokjin]Where stories live. Discover now