"Sayang, jangan terlalu keras terhadap Daniel. Aku mau kamu membantu menyelesaikan masalahnya," ujarnya lembut tidak lupa dengan senyum genitnya.

Tangan Bryan yang terbebas bergerak mengelus pipi orang tersebut. "Jangan terbiasa memanjakannya."

"Turuti saja yang aku mau." Lagi, Bryan kembali menurut dengan menganggukkan kepalanya tanda setuju. Kini manik matanya kembali menatap datar putranya. "Ucapkan terima kasih kepadanya, Daniel. Jika bukan karenanya, jangan harap kamu bisa menyelesaikan masalah ini."

"Sudah lama tidak berjumpa denganmu, jalang." Daniel menatap rendah gadis–ah bukan, jalang di depannya ini bukan seorang gadis lagi, melainkan wanita murahan yang bekerja sebagai penghibur. "Pintar sekali mengambil hati rupanya. Jangan berharap mendapatkan ucapan terima kasih."

"DANIEL!"

"Mas, sudah. Mungkin Daniel sedang lelah."

Daniel berlagak ingin muntah saat suara itu kembali ia dengar. "Gumoh gue lama-lama di sini. Drama banget si ratu lenjeh satu ini."

"Ingat kata-kata gue, suatu saat semua kebusukan lo terbongkar, jalang," lanjutnya seraya berjalan ke arah lift.

"VINSENSIUS DANIEL BAYANAKA, JAGA UCAPANMU!" teriak Bryan sebelum pintu lift tertutup sempurna.

Wanita itu merapatkan tubuhnya seraya mengelus pelan lengan pria paruh baya itu. "Mas, jangan diperpanjang. Suatu saat Daniel akan berubah."

Dan semuanya akan tunduk di bawah pesona gue, lanjutnya dalam hati.

***

Setelan formal berwarna hitam melekat sempurna di tubuh Ettan. Tak terhitung berapa kali ia menghela napas pelan. Sungguh, ia tak ingin datang ke acara tidak penting baginya. Jika bukan karena sang bunda, mungkin dirinya bisa pergi bermain atau bergelung di dalam selimut.

"Ettan, sudah siap?" Suara bariton dari balik pintu terdengar, segera ia meraih ponsel dan dompetnya sebelum suara ayahnya mengganggu kesehatan indra pendengarnya.

Cklek

"Kenapa?" tanya Ettan malas.

"Mari menunggu di ruang tengah, sebentar lagi bundamu selesai," ajak ayahnya mendahului turun melalui tangga, Henry.

Ettan menatap miris punggung ayahnya yang semakin mengecil dari pandangannya. "Gunanya rumah ada lift apa? Masalahnya turun dari lantai tiga, bukan lantai dua. Apa nggak sakit pinggang itu manusia bau tanah?"

Mengedikkan bahunya acuh lantas memasuki lift menuju lantai satu yang ternyata sang bunda telah siap. "Tumben tepat waktu," sindirnya saat berada di depan kedua orang tuanya.

"Jangan sampai kita di cap buruk oleh semua orang karena terlambat menghadiri sebuah acara," ujar bundanya, Helva yang membuat Ettan mencebikkan bibirnya.

Henry segera menggiring keluarganya menuju mobil dan segera menjalankan mobilnya perlahan. Tidak banyak percakapan antara ketiganya. Ettan yang biasanya dapat mencairkan suasana, kini tampak terdiam menatap jalanan melalui kursi di bagian tengah.

"Bagaimana sekolahmu, Ettan?" tanya Helva memecah keheningan. Wanita itu tampak sibuk membenahi helaian rambutnya.

"Masih utuh, bangunannya nggak runtuh," jawab Ettan malas.

Jevandraحيث تعيش القصص. اكتشف الآن